“Put, aku beli roti dulu ya buat sarapan…”
Andi Fachri, lelaki yang kalau tidak salah asli
Semarang itu, menyebrang jalan menuju mini market 24 jam. Saya merapatkan jaket
sembari terkantuk-kantuk di pinggir jalan yang gelap. Fajar memang masih jauh.
Namun kami sudah bersiap melaju menuju Jembrana. Pukul 04.00 WITA, Mas Andi
menjemput saya di hotel. Lelaki yang baru beberapa bulan tinggal di Denpasar
ini berbaik hati menjadi teman perjalanan saya. Karena masih nubitol ini pula, dia mengandalkan peta
digital untuk keluar dari pusat kota Denpasar.
“Ada jalan tembusan…,” katanya saat kami agak
sedikit berputar-putar mencari di mana jalan yang dimaksud. Mungkin ini efek
karena jalan terlalu gelap. Mau tanya orang juga sepertinya mereka masih
terlelap. Beruntung kami melewati sebuah pasar kecil yang sudah menunjukkan
tanda-tanda kehidupan.
Langit mulai berubah warna. Sementara motor
masih terus melaju. Pantat saya yang sudah lama tidak merasakan berkendara jauh
rasanya pegal dan kaku. Sesekali kami berhenti untuk mengecek peta lewat smartphone. Saya menghela nafas lega
saat melintasi sebuah patung lelaki penunggang kerbau, salah satu ikon dari
kota Jembrana. Perjalanan lebih dari tiga jam itu sepertinya akan segera mencapai
tujuan.
Jembrana terletak di Bali bagian Barat. Jauh
dari hiruk pikuk pariwisata yang hampir terpusat di Bali Selatan dan Tengah.
Bagian Barat ini memang sebagian besar adalah tanah yang berstatus taman
nasional. Wajar bila banyak hutan di kanan-kiri. Turis yang datang rata-rata
penggemar wisata minat khusus. Meski pegal, saya terhibur dengan warna-warni
pagi sepanjang perjalanan ini. Kabut, terasering, perbukitan, dan siluet gunung
yang terlihat monokrom di kejauhan. Hal serupa mungkin sudah susah ditemukan di
wilayah-wilayah touristy Bali lainnya
yang penuh bangunan tinggi menjulang.
Pagi itu kami memang berniat menonton balap
kerbau atau biasa disebut Makepung. Sebuah perhelatan besar yang hanya bisa
disaksikan di Jembrana saja. Makepung memang selalu berlangsung sedari pagi
hari pukul 6 pagi. Membuat para wisatawan dari Denpasar harus bangun pagi-pagi
buta untuk mengejar acara tersebut. Apalagi memang tak terlalu banyak
penginapan yang ada di Jembrana.
Makepung hari itu berlangsung di daerah Delod
Berawah. Jalanan begitu lengang sepanjang menuju tempat tersebut. Kanan kiri
hanya terdapat persawahan. Saya berharap tak salah melihat agenda Makepung di
website pemerintah kabupaten Jembrana. Saya punya pengalaman tak enak berkaitan
agenda acara budaya yang diinformasikan lewat internet. Sudah jauh-jauh datang
ke Bantul (Yogyakarta), malah tidak ada acara apa-apa. Beberapa orang juga ikut
kecele. Tidak lucu rasanya kalau kali ini pun saya bernasib sama.
Mas Andi berkali-kali menggumam, “kok sepi
banget ya…”. Membuat saya semakin was-was. Hingga akhirnya kami mulai melihat
segerombolan kerbau memadati jalanan. Rupanya perjalanan sedari subuh ini tak
sia-sia. Acara ini benar-benar tepat waktu. Tak beberapa lama setelah memarkir
kendaraan, pasangan kerbau pertama yang dilombakan sudah dilepas. Riuh pun
sontak terdengar.
Pagi itu tercatat hampir 250 pasang kerbau yang
memperebutkan piala bergilir Jembrana Cup. Peserta terbagi dalam dua grup yakni
Blok Ijogading Timur dan Barat. Lintasan balap yang digunakan adalah sebuah
jalan desa yang bentuknya melingkar. Di bagian tengah lintasan terdapat
beberapa petak sawah. Lebar jalan lintasan lebih kurang hanya tiga meter saja.
Di sini tantangannya, saat sepasang kerbau harus mendahului pasangan di depan.
Setiap kali peluit ditiupkan, ada dua pasang kerbau dari grup berbeda yang adu
balap. Begitu seterusnya, hingga mendapatkan nama-nama pemenang untuk mengikuti
putaran final yang diadakan siang itu juga.
Jangan abaikan keselamatan diri saking enaknya
mengikuti atmosfer balap ini. Tak jarang ada kerbau yang mengamuk dan berusaha
keluar dari lintasan. Beberapa orang tampak ambil jalan aman: menikmati
perlombaan dengan duduk di atap genting rumah.
Semakin siang, aura persaingan semakin terasa.
Teriakan-teriakan joki terdengar bersahutan demi memacu tenaga
kerbau-kerbaunya. Setiap detik terasa begitu berarti dalam derap hewan-hewan
ini. Penonton pun bersorak tak kalah riuh saat jagoannya berhasil mencapai
garis finish.
Bosan berada di lintasan, saya memutuskan untuk
keluar dan melihat lebih dekat di garis finish.
Berjalan berjingkat-jingkat di tepian agar tak tertabrak gerobak kerbau.
Seorang kameramen TV lokal bahkan hampir kehilangan gadget-nya karena terlalu menjorok tengah lintasan. Dia mengelus
dada, memeluk kameranya yang hampir wassalam.
Di garis finish
rupanya masih ada PR yang menanti para anggota tim balap yaitu menghentikan
laju kerbau. Bayangkan, kerbau yang sudah dalam keadaan on-fire lari gradak-gruduk
harus dihentikan begitu mencapai garis akhir. Kalau tidak kuat, bisa saja
anggota tim ini terseret atau bahkan terlempar srudukan kepala kerbau.
Saya lantas bergerak ke arah pantai. Kebetulan
lintas balap ini tak jauh dari Pantai Delod Berawah. Hanya perlu berjalan
beberapa meter saja. Pantai ini tak setenar pantai-pantai lain di Bali. Dari
segi pemandangan dan fasilitas, Pantai Delod Berawah jauh kalah dengan yang
lain. Di bawah pohon-pohon rindang di tepian pantai, berjejer kerbau-kerbau
yang telah berlomba. Saya bergidik ngeri saat berjalan di samping hewan-hewan
itu. Nafas mereka masih terpacu kencang. Debaran detak jantungnya bisa terlihat
jelas di permukaan kulit. Dag dug dag dug… Seorang lelaki nampak mengguyurkan
air dingin di bagian pantat dua kerbaunya yang berdarah. Entah mengapa, saya
jadi ikutan merasa perih.
"Ini luka akibat tungket, mbak…," kata Pak Nyoman sembari mengangkat sebuah
tongkat sepanjang 40 cm yang diselimuti paku-paku kecil. Balap kerbau ini
mengingatkan saya pada Karapan Sapi di Madura. Sama halnya seperti di Jembrana,
Karapan Sapi menggunakan tongkat yang lebih kecil untuk memacu sapi-sapi agar
berlari lebih kencang. Alhasil, banyak darah berceceran di bagian pantat
hewan-hewan tersebut. Yang merasa mual melihat darah, sebaiknya jangan pernah
nonton Makepung atau Karapan Sapi. Mungkin kesakitan inilah yang harus dibayar
hewan-hewan ini setelah melewati bulan-bulan penuh kenyamanan. Pada
perkembangannya sapi dalam Karapan maupun kerbau dalam Makepung ini memang
sengaja dibesarkan untuk menjadi pembalap.
"Sekarang sudah banyak yang punya traktor
pengganti kerbau di sawah," sambung lelaki yang sudah puluhan tahun
mengikuti Makepung ini. Tentu saja biaya
perawatan kerbau balap tak semurah dengan yang dipekerjakan di sawah. Beberapa
ada yang meningkatkan vitalitas dengan menggunakan ramuan tradisional dan
makanan-makanan lainnya. Bisa jadi makanan untuk hewan ini lebih mahal daripada
sepiring nasi majikannya. Mereka begitu dimanja laiknya merawat seorang bayi.
Pak Nyoman dan sang joki mengajak kerbau-kerbau balapnya berlatih dua minggu sekali menjelang pertandingan. "Saya latih di medan lumpur, karena lebih berat," ujarnya yang kerap kali mengganti kata joki dengan sebutan 'sopir'. Penunggang kerbau juga harus punya stamina lebih. Beberapa kali saya melihat joki-joki yang menggelepar pingsan setelah memacu kerbau-kerbaunya beberapa kali putaran. Apalagi final dilaksanakan menjelang tengah hari, di mana sengatan mentari sangat menguras energi.
Konon, zaman dahulu kala, Makepung memang
dilakukan di tengah sawah basah. Para penunggangnya mengenakan pakaian
tradisional laiknya prajurit kerajaan. Kegiatan berlari-lari dengan kerbau ini
awalnya memang bertujuan untuk membajak lahan sebelum ditanami padi agar
menjadi gembur. Karena sapi hewan yang disucikan di Bali, maka pekerjaan bajak
sawah tradisional ini dilakukan oleh kawanan kerbau.
Tak jauh dari arena balap, saya melihat segerombol lelaki mengenakan pakaian tradisional Bali berwarna merah jambu. Mereka adalah para pemain Jegog, kesenian musik khas dari Jembrana yang semua instrumennya terbuat dari bambu. Tahun 2012 ini, konon Jegog telah mencapai usia 100 tahun sejak pertama kali dibuat oleh seorang petani setempat. Kesenian ini tak tersedia di daerah lain di Bali. Untuk dapat menikmati atau belajar pada ahlinya, wisatawan dapat mengunjungi Desa Sekar Agung, Jembrana. []
Makepung adalah tradisi berlarian dengan kerbau
yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Jembrana. Dahulu kala, Makepung digelar
sebelum masa tanam padi. Tujuannya memang untuk membajak lahan basah. Pada
perkembangannya, kegiatan ini pun dilombakan secara terjadwal mulai dari bulan
Juni di tingkat kecamatan, hingga kisaran November untuk memperebutkan gelar
juara tingkat kabupaten. Ditambah dengan adanya peningkatan teknologi
pertanian, kerbau-kerbau ini tak lagi bekerja di sawah. Mereka dirawat sebagai
kerbau balap. Setiap jadwal Makepung, ada dua grup besar yang berlomba.
Perhelatan ini pun tak lepas dari iringan kesenian musik dari bambu khas
Jembrana yang disebut Jegog. Info pelaksanaan Makepung tiap tahun bisa dilihat
melalu situs pemerintah kabupaten Jembrana (http://www.jembranakab.go.id/)
keren...
BalasHapus