Di atas kasur saya didorong kesana kemari dan melewati beberapa pintu. Ruang operasi rumah sakit ini letaknya sangat terisolir, pikir saya saat itu. Hingga akhirnya saya dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang sangat benderang. Suhu di dalamnya mirip kulkas. Saya bergidik kedinginan. Seorang operator ruang operasi menyapa dan menanyakan beberapa hal untuk basa-basi sembari memasang kabel ini itu di lengan saya.
Sebentar lagi... perut saya dibedel-bedel. Lagi-lagi ketakutan itu muncul. Rasa sakit pasca operasi cesar kabarnya melebihi kontraksi melahirkan per vagina. Duh, Gusti... paringi power.
Beberapa orang bermasker dan berseragam hijau mulai memasuki ruangan yang dinginnya kurang ajar itu. Salah satunya bertindak sebagai dokter anastesi. Tubuh saya dimiringkan ke kanan dan diposisikan meringkuk. Lantas seorang lelaki memegang badan saya kuat-kuat sembari berujar, "sebentar lagi Mbak dibius, suntik dua kali di punggung, usahakan jangan berontak ya."
Dan saat itu saya baru inget kabar burung yang mengatakan bahwa suntik bius itu sakit sekali. Haduh, ngga ada waktu untuk mempersiapkan mental jadi saya cuma menjawab dengan lirih, "Oh oke.."
Nervous setengah mati sembari merapal doa semoga saya tahan sakitnya. Dokter anestesi mulai mengusap punggung lokasi penyuntikan.
"Sudah, Mbak, sebentar lagi kaki Mbak akan merasa kesemutan," ujar lelaki yang memegangi kaki dan tangan saya tadi.
HLOH? Sudah beneran nih, kok ngga berasa sakitnya?? Hahahaha... Di saat-saat seperti saya masih sempetnya tersenyum girang karena merasa menang. Badan saya kembali ditelentangkan, selembar kain dibentangkan di atas leher, sehingga saya tidak bisa melihat bagaimana proses ubek-ubek perut itu terjadi.
Batas pandangan saya hanya lampu yang terletak di langit-langit saja. Saat kaki mulai kesemutan, saya memilih memejamkan mata. Sayup-sayup saya mendengar suara dokter obgyn yang baru datang.
Oke, sebentar lagi...
Saat itu memori saya kembali ke belakang, saat saya masih lajang, saat saya melakukan berbagai hal yang dulu tidak kepikiran untuk dilakukan ketika traveling. Pada awal kehamilan, saya selalu menerka-nerka, sesakit apa melahirkan itu? Saya pernah bertahan dalam suasana tidak enak ketika melakukan perjalanan, dan berhasil melaluinya. Saya pasti juga bisa melewati masa kesakitan saat melahirkan.
Tapi kenyataannya saya harus dioperasi di ruangan sedingin ini. Cita-cita untuk melahirkan normal harus ditunda dulu. Keinginan untuk IMD pun harus diikhlaskan karena kebijakan rumah sakit tidak mengizinkan pasien operasi untuk IMD. Ya sudah, selama bayi saya tidak diberi susu formula sebagai pengganti IMD, saya terima. Saya pun harus rela tidak bisa mendengar suami melantunkan adzan di telinga sang bayi karena Mas Dian tidak diperbolehkan masuk ke ruang steril itu.
Ah, apapun... sebentar lagi saya menjadi Ibu.
Meskipun sudah kebal dari rasa sakit, namun saat itu saya bisa merasakan isi perut ini seperti digoyang-goyang atau diobok-obok, ya semacam itulah. Lalu suara-suara pun muncul, "yak, bagus, tarik, yak oke... ketuban hampir habis, tapi plasenta masih bagus nih..."
1 detik, 2 detik, oweeeek... bayi saya menangis...
"Bu, ini bayinya laki-laki ya," ujar seorang bidan sembari menggendong bayi saya yang masih telanjang.
Alhamdulillah. Pelan-pelan air mata saya menetes juga.
Bidan langsung membawa sang bayi untuk dibersihkan. Perjalanan saya untuk menimangnya masih cukup panjang. Saya masih berada di dalam ruangan itu kira-kira 30 menit pasca melahirkan untuk dijahit dan sebagainya.
Sedang apa bayi saya? Bagaimana reaksi Mas Dian di luar sana? Orang tua dan keluarga besar saya yang super ribut itu apakah juga ada di luar?
Setelah semua beres, operator kamar operasi membawa saya ke ICU. Saya ditempatkan di salah satu bilik yang hanya terpisah kelambu dengan pasien lain. Saya yang tak sadar sepenuhnya, tiba-tiba mual.
"Mas, muntah, Mas..." lalu.. howeekk... Saya pun mengeluarkan isi perut. Untung seorang perawat segera mengambil plastik. Tapi kayaknya sih hanya air saja yang keluar, karena sebelum operasi saya harus puasa sedari jam 9 malam.
Setelah muntah, saya pun tertidur. Saat itu jam dinding menunjukkan waktu hampir pukul 8 pagi.
Sepertinya saya sudah tidur cukup lama, namun rupanya belum ada satu jam terlelap. Badan saya terasa kaku, terutama bagian bawah pinggang. Clekit-cletkit mulai timbul. Dan saya haus luar biasa namun belum diperbolehkan untuk minum apa-apa.
Ruangan ICU hanya dijaga oleh beberapa perawat yang sedang sibuk ngerumpi. Suara salah satu dari mereka terlalu keras untuk ukuran ruang perawatan seperti ini. Seorang perawat laki-laki nampak mendekat.
"Mbak, sudah bangun? Latihan bergerak ya, badannya dimiringkan ke kanan ke kiri," ujarnya.
"Oh, oke Mas. Ini sampai kapan saya di ICU?" tanya saya.
"Ya observasi aturannya 6 jam pasca operasi, Mbak," tambahnya lantas berlalu mengecek pasien lainnya.
Duh, 6 jam, sendirian. Mas Dian mana sih kok ngga ke sini? Batin saya. Baru saya sadar bahwa pasien lainnya pun juga sendirian tanpa ditunggu oleh keluarganya. Mungkin memang ngga boleh masuk ya... Hm... Sesuai perintah Mas perawat, saya mulai coba-coba memiringkan badan dengan berpegangan pada kasur.
Oke. Ternyata. Susah. Dan. Sakit. HUHUUHUUUU... Tidur aja deh.
Sukses memejamkan mata cukup lama, ketika bangun saya melihat Mas Dian dadah-dadah dari pintu ICU. Saya bingung mau berucap apa. Terlalu banyak yang ingin ditanyakan, tapi apa daya jarak kasur dan pintu ICU cukup jauh jadinya saya membalas dengan melambaikan tangan juga.
Lantas pintu ICU ditutup kembali oleh perawat.
Hffftt...
to be continued lagi deh ya.. hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar