Badan kami sudah letih. Setelah berputar-putar berkeliling beberapa bagian di Surabaya sedari pagi, akhirnya kami pulang ke rumah menjelang Maghrib. Baju saya basah, sedangkan Mas Dian masih mengenakan jas hujan yang hanya sepasang itu. Kami memang sempat merasakan diterpa hujan angin hingga memutuskan berhenti di tepian jalan cukup lama. Saat kondisi cukup kondusif, Mas Dian menyalakan motor butut saya lagi. Hingga terpaksa berteduh di bawah jembatan layang, saat hujan tiba-tiba kembali menggila.
Perjalanan ke pusat kota memang menjadi sangat jauh saat saya dan suami menyewa rumah di pinggiran Surabaya Timur. Selama hampir empat bulan sebelum menikah, saya berputar-putar mencari rumah yang strategis dan terjangkau dompet. Tipikal orang Indonesia lah, maunya murah dan bagus. Tentu saja yang seperti itu mustahil didapatkan di zaman apa-apa serba mahal ini. Mau murah ya di pinggiran!
Banyak sekali perumahan mini yang di bangun di pinggiran kota Surabaya. Saya pun akhirnya menempati salah satunya, yang masih terbilang dekat dengan pusat kota dibandingkan yang lain. Namun tetap saja, daerah tempat tinggal saya ini lebih dekat dengan tambak dan perairan Surabaya Timur daripada Stasiun Gubeng. Tapi tetap bersyukur, mendapat rumah dengan halaman ekstra. Eksta besar dan ekstra juga tenaga perawatannya.
Maghrib itu kami tiba di rumah. Hujan deras tadi rupanya menimpa wilayah kontrakan kami pula. Berharap segera mandi dan makan malam lalu santai-santai, saya cepat-cepat membuka pintu. Seketika kaget! Rumah kami ternyata kebanjiran! Air hujan masuk dari sela pintu ruang tamu. Merembet hingga ke kamar depan. Arrrgh...
Saya dan Mas Dian kerja bakti malam itu. Mengepel lantai, mengeluarkan barang di kardus yang dasarnya digenangi air, lalu mengepaknya kembali. Tentu saja, semua kegiatan itu dibarengi dengan rutukan tentang desain rumah kontrakan yang serba kurang perhitungan. Sebelumnya memang pemilik rumah ini juga sudah berwanti-wanti agar sabar dengan rumah ini. Dia menyalahkan tukang bangunan yang bekerja sesuka hati tak sesuai perintah.
Semenjak kejadian itu, kami memperbanyak membeli keset dan kain pel. Semua dipasang berjejeran di sela pintu ruang tamu. Setiap hujan turun, Mas Dian selalu sigap keluar rumah untuk mengecek arah angin hujan. Bila condong miring ke Timur maka siap-siap ruang tamu akan tergenang lagi. Bila condong ke Barat, kami berlari ke pintu belakang dekat dapur tempat jemuran berada. Entah ide siapa yang menaruh pipa talang buangan air dari genteng ke dalam area rumah. Ya meskipun itu hanya sepetak kecil tempat jemuran yang tak beratap, sepertinya lebih baik untuk mengalirkan pipa tersebut ke arah luar. Jangan heran bila kelak datang ke rumah saya, kalian melihat banyak tumpukan keset di depan pintu.
Persoalan tak berhenti di situ. Di kamar kami sendiri pun sama. Selang beberapa hari diributkan oleh masuknya air dari depan dan belakang, rupanya masih ada tempat yang harus mendapat pengawasan. Rembesan air di dinding kamar yang kata pemiliknya sudah ditambal berulang-ulang itu masih saja ada. Mengalir seperti air terjun mini. Meskipun lebarnya hanya 0,5 cm, tapi kalo ada tujuh rembesan ya itu namanya persoalan. Kami pun menaruh keset di pojokan kamar.
Sehari setelah Mas Dian kembali ke Sumba, lampu ruang tengah tiba-tiba mati. Saya lantas menggantinya dengan yang baru. Tapi tak juga menyala. Lantas lampu baru tersebut saya coba pada fitting lainnya di kamar depan dan sukses menyala dengan terang. Masih bersabar, saya pasang lagi lampu itu di tempat yang mati. Gelap. Seketika saya menelepon suami, dan tangis saya pecah.
Kalau dipikir saat ini, saya hanya bisa geleng-geleng kepala, bagaimana sebuah bohlam lampu mampu membuat saya menangis sekencang itu. Saya pernah terombang-ambing di laut perairan Madura-Sapudi selama tiga jam. Beberapa penumpang sudah menangis dan menyebut asma Allah. Tapi saya tidak meneteskan air mata sedikit pun. Malah berusaha untuk tidur. Di Sintang, saya pernah mendaki Bukit Kelam yang ternyata memang kelam. Saya hampir pingsan karena kurang gula. Tapi tak juga merengek minta turun ke bawah. Saya tetap berjalan sembari mengunyah wafer yang diberikan seorang kawan dan terus berpikir positif agar cepat sampai di camping ground. Lantas bertahun kemudian, saya di kamar, tersedu karena sebuah bohlam lampu.
Seiring dengan seringnya hujan turun, maka rumput-rumput liar di halaman rumah pun tumbuh subur. Sebelum kembali ke Sumba, Mas Dian sempat menyemprotnya dengan herbisida lalu memangkasnya dengan gunting ruput. Tapi seperti kata Shancai, rumput liar bisa tumbuh dimanapun dan kapanpun. Maka mereka kembali bermunculan ijo royo-royo.
Dulu, hujan tak pernah semengerikan ini. Setiap mendung terlihat, saya selalu was-was. Meninggalkan rumah untuk keluar kota menggarap pekerjaan pun tak bisa terlalu lama. Pikiran saya selalu ke rumah. Memang sudah ada keset-keset. Tapi toh mereka butuh dicuci dan dikeringkan agar rumah tak menjadi lembab dan menjadi tempat tinggal favorit berbagai jamur dan penyakit. Ah, pokoknya...!
Hujan di tengah malam adalah hujan paling mengerikan bagi saya. Apalagi jika terlihat cahaya petir yang menyambar. Membuat tidur saya semakin tidak enak untuk dilanjutkan. Ah tapi apapun itu, semuanya harus disyukuri ya. Paling ngga, warna rupa-rupa di awal bulan sudah menghiasi kehidupan pernikahan kami. Hari ini jalan menuju bulan ketiga kami mengontrak rumah ini. Ada banyak hal yang membuat saya berubah secara drastis. Ada yang enak, ada pula yang tak nyaman. Kapan-kapan saya ceritakan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar