Minggu lalu saya sempat membeli sebuah majalah pariwisata yang baru beredar sebagai edisi pertama di Indonesia. Sebenarnya bukan baru juga sih, DestinAsian Indonesia, nama majalah tersebut, sudah mempunyai induk berjudul serupa yang telah terbit lama kalau tidak salah di Singapore.
Lalu, apa yang membuat saya hingga membuat tulisan ini?
Jadi ceiritanya, karena sibuk ngurus rumah (dan suami), saya baru sempat kemarin benar-benar membaca isinya. Sungguh ini bukan iklan, bahkan saya ngga dapet apa-apa juga dari nulis ini hahaha... Hanya saja, saya harus acungi jempol salah satu artikel di rubrik Food Stuff. Bukan, ini bukan tentang review 100 kata menu makanan dengan dilengkapi alamat warung dan harga sepiringnya. Food Stuff dalam edisi pertama ini ditulis oleh Gemma Price. Well, I dont know who she is. Coba buat yang penasaran, bisa gugling. Memang sih yang dibahas bukan masakan Indonesia, melainkan beberapa menu masakan di kota Hue, Vietnam. What fascinated me is bagaimana dia menuliskan sebuah makanan dengan begitu indah. Indah, dalam kamus saya, bukan hanya yang bagus-bagus secara diksi. Namun, karena ada hal-hal lain yang membuat saya terangguk-angguk.
Menulis makanan dalam artikel ini, bukan hanya tentang rasa, penampakan luar dan harga. Tapi melibatkan unsur lain. Tentang bagaimana si koki memperlakukan makanan tersebut, dari membeli bahan di lapak-lapak pasar, tawar-menawar, hingga tersaji di atas piring. Tentang tanah yang menyuburkan bumbu-bumbunya. Musim-musim yang memperkaya daftar kulinari kota Hue. Hingga kebiasaan sosial masyarakat berkaitan dengan satu menu itu.
Err, looks complicated ya? Well, ngga juga sih. Entah mengapa tulisan makanan yang berjudul Dua Kutub Hue ini begitu mudah dicerna. Belum pernah saya membaca artikel perjalanan tentang makanan yang terasa begitu intim seperti ini, terutama di majalah pariwisata nasional yang jumlanya membludak. Ini memang pinter-pinter gaya yang nulis sih ya. Sekali lagi, bagi saya tulisan perjalanan bukan jurnal ilmiah skripsi, namun bisa sangat berisi dengan menambahkan 'keluwesan' di sana-sini. Apalagi si Mbak Gemma ini gemar memakai diksi-diksi yang tak biasa dalam menulis artikel makanan.
Contohnya, "Warga Hue gemar mengunyah sepanjang hari dan kota ini punya banyak opsi berharga terhangkau untuk memuaskan hobi tersebut. Dalam kasta kuliner Hue, makanan jalanan dan menu bangsawan punya status yang sama luhur."
Saya pikir, jarang sekali tulisan makanan dalam majalah pariwisata yang menghabiskan empat halaman. Tapi dari artikel ini, saya belajar bahwa semua itu mungkin dilakukan dengan pengamatan yang jeli.
Sayangnya, saya belum pernah punya kesempatan untuk mencari buku Jalan Sutera garapan Pak Bondan. Menurut teman saya, beliau sangat cerdas dalam memaparkan sebuah menu makanan seperti artikel yang baru saja saya baca di DestinAsian.
Jaman canggih seperti ini, banyak sekali food blogger yang bertebaran di dunia maya. Tentu saja ini menyenangkan. Apalagi saya suka makan, hahaaa... Saya pun masih belajar, bagaimana menulis interpretasi dari sebuah makanan dengan kreatif dan gaya yang menarik. Terlebih bukan melulu tentang info yang sudah dapat di-gugling ratusan orang. Atau hanya umbar foto bagus saja. Karena dalam sebuah tangkapan lensa, kuah sup yang terlalu asin akan nampak sama saja dengan kuah sup yang kebanyakan merica.
Selamat jalan-jalan, makan-makan, dan menulis! :)
Baru beli lombok di warung depan komplek rumah, found out that they have interesting color contrast...
Ora penting yowesben :p
jd penasarann pengen bacaa....
BalasHapusmau pinjem jalansutra mr bond, put? ntar aku kirim ke sby
BalasHapusKetika blog ini "promosi" destinasian, saya dapat url mbak dwi (saya panggil gini?) dari majalahnya citilink. :)
BalasHapusHahaha, bukan promosi, tapi amaze aja :) Thanks ya :)
Hapusnice mba lanjutkan artikelnya.. ehehehe... :)
BalasHapusmampir juga ya mba Artikel Islam