Joko Seger dan Roro Anteng gelisah. Buah
hati yang menjadi idaman tak juga datang, meski mereka telah lama menikah.
Suatu waktu sejoli ini naik ke puncak Gunung Bromo untuk berdoa kepada Sang
Hyang Dewata agar dikarunia keturunan. Kesabaran dan ketulusan mereka rupanya
membuahkan hasil. Sang Dewa mengabulkan permintaan dengan syarat saat anak
terakhir beranjak dewasa, dia harus dikorbankan ke dalam kawah Bromo.
Dalam perjalanan hidupnya, Joko Seger dan
Roro Anteng selalu diselimuti kebahagiaan yang meluap karena mendapatkan banyak
keturunan terhitung hingga dua puluh lima anak. Karena perasaan kasih dan
sayang terhadap semua anak, pasangan ini lupa akan janji lampaunya pada Sang
Dewa.
Dewa pun murka karena merasa
dikhianati. Lava dalam perut Bromo menggelegak muncrat. Anak terakhir pasangan
Joko Seger dan Roro Anteng diambil paksa lewat lilitan lidah api Bromo. Si
Bungsu pun lenyap tertelan kawah. Alkisah, sesaat setelah peristiwa itu
terdengar suara si Bungsu dari dalam kawah yang meminta diadakan upacara
peringatan setiap bulan Kasada pada pergantian malam ke-14 dan 15. Masyarakat
Tengger, yang dipercaya sebagai keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, kemudian
memperingati kejadian tersebut setiap tahunnya sebagai Yadnya Kasada.
"Betul, memang itu folklore
yang kami percayai selama ini," ucap Sutomo, lelaki 53 tahun yang dikenal
sebagai dukun di Desa Ngadisari. Dalam tatanan masyarakat Tengger, dukun atau
dikenal juga sebagai dukun gede bertugas sebagai rohaniawan yang
memimpin prosesi keagamaan, pernikahan dan kematian.
"Banyak yang salah
sangka, tapi kami sebagai dukun tidak mengurusi seputar masalah jodoh ataupun pesugihan,"
Pak Sutomo terkekeh. "Hal seperti itu dilakukan oleh mereka yang disebut dukun
cilik di sini," sambungnya.
Sore itu, beberapa jam
sebelum dilangsungkan acara puncak Yadnya Kasada, kediaman dukun yang telah
menjabat menggantikan ayahanda sejak 2003 ini, disibukkan dengan pembuatan ongkek-ongkek.
Sekitar enam orang lelaki, berkutat di antara tumpukan daun, bunga,
batang-batang pisang dan gelintiran jagung.
Dilihat dari wujud fisik, ongkek
adalah lengkungan. Sedangkan secara filosofis, Ong berarti Dewa seperti
Brahma, Wisnu, atau Siwa. Karena itu mantra-mantra Hindu Tengger juga diawali
dengan kata Ong. Sedangkan Kek adalah leluhur. Bisa disimpulkan
bahwa ongkek adalah persembahan untuk dewa dan para leluhur. ongkek,
sebagai sesaji yang mewakili satu desa, disusun melengkung menggunakan bilah
bambu dan dirangkai dengan berbagai hasil bumi desa. Setelah selesai, ongkek
akan disucikan dan didoakan terlebih dahulu. Pada tengah malam rangkaian sesaji
tersebut akan diarak ramai-ramai ke Pura Luhur Poten untuk kemudian dilarung di
kawah Bromo.
Pembuatan ongkek
seperti di Desa Ngadisari ini adalah prosesi awal dari rangkaian upacara
Kasada. Setidaknya ada 41 desa Tengger di Probolinggo, Pasuruan, Malang dan
Lumajang yang juga membuat sesaji serupa untuk dilarung. Bila dalam 44 hari
sebelum perayaan Kasada ada warga yang meninggal, maka desa tersebut tidak akan
membuat ongkek.
Tubuh saya mulai bergetar
pelan. Rupanya sore hampir usai dan kabut-kabut mulai turun menyapa. Segera
saya berpamitan pada Pak Sutomo untuk kembali ke Cemoro Lawang, desa tempat
saya menginap. Ini adalah ketiga kali saya mengikuti prosesi Kasada. Setiap
pulang dari Kasada, saya selalu kapok untuk datang kembali. Suhu terendah di
Bromo memang berlangsung saat musim kemarau seperti hari ini. Tapi pada tahun
berikutnya, begitu bulan Kasada semakin dekat, entah mengapa ada perasaan untuk
kembali ke Bromo.
Pada setiap kunjungan, Bromo
selalu memberikan kejutan, seakan menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa atas
alam Tengger. Dua tahun lalu adalah malam Kasada paling cerah yang pernah saya
rasakan. Tidak ada kabut menyelimut lembah. Penumbra bulan bahkan terlihat
jelas mengiringi langkah-langkah kaki yang berjalan di lautan pasir menuju Pura
Luhur Poten. Saya takzim pada suguhan bentangan langit malam itu.
Dibalik deru hardtop,
truk ataupun motor warga yang bergerak turun menuju Pura, masih bisa saya
dengar lamat-lamat, kidung doa yang mengalun syahdu dari sana. Nyanyian mantra
dalam bahasa Jawa Kuna itu memantulkan resonan berupa puja-puja kepada dewata.
Pada akhir 2010 lalu, Bromo
sekali lagi menunjukkan kuasanya dengan menyemburkan abu vulkanik hingga
setinggi 1000 meter. Erupsi ini menyebabkan hampir seluruh wilayah kecamatan
Sukapura tertutup abu. Meskipun berselang setengah tahun ketika saya datang
pada Kasada 2011, namun sisa-sisa erupsi masih saja terlihat di sana-sini.
Urat-urat Gunung Batok yang semula diselimuti dedaunan hijau, saat itu berubah
menjadi monokrom akibat tertutup abu. Kasada tahun 2011 itu hampir menyebabkan
saya tersesat di tengah tebalnya kabut pada dini hari saat berjalan menuju
Pura. Bahkan mengeluarkan kamera pun menjadi pertimbangan, karena mata pedih
dan dada sesak akibat badai pasir. Beberapa kali bau belerang juga mampir di
lubang hidung.
Namun, Kasada tetap
berlangsung. Truk-truk yang mengangkut masyarakat Tengger terus berdatangan.
Mereka menembus kabut meski jarak pandang begitu pendek. Medan menuju kawah pun
semakin berat karena lereng-lereng Bromo tertutup tebalnya pasir. "Itu
hanya abu, Bromo tidak apa-apa," kata salah seorang lelaki Tengger yang
saya temui di Cemoro Lawang. Pada tahap ini saya menyadari, bahwa apapun bisa
disuguhkan oleh Sang Dewata penguasa alam Bromo.
Pada 2012, Yadnya Kasada
digelar pada tanggal 3-4 Agustus lalu. Karena menganut ilmu penanggalan surya
candra (matahari dan bulan) maka upacara Kasada tiap tahunnya selalu
mengalami pergeseran. Yang tak pernah luput pada tiap Kasada hanyalah malam
bulan purnama.
Ongkek-ongkek dari Desa Ngadisari pimpinan Pak Sutomo
dijadwalkan turun ke lautan pasir pada sekitar pukul satu dini hari. Banyak
warga dan pengunjung yang telah menunggu sejak pukul dua belas malam untuk ikut
dalam rombongan pembawa ongkek. Jangan tanya bagaimana dinginnya Bromo
saat itu. Sekedar berbincang dengan teman pun rasanya sangat malas, saking terkonsentrasi
untuk memeluk badan sendiri dengan kedua tangan.
Dengan jarak hampir 5
kilometer dari gerbang Bromo, ongkek-ongkek diarak oleh rombongan menuju
Pura Luhur Poten. Selama perjalanan, rombongan ini berhenti dua kali yaitu di
situs dan petilasan leluhur Tengger yang juga terletak di lautan pasir. Para
warga Ngadisari ini berjalan dengan begitu cepat, mungkin untuk mengalihkan
hawa dingin. Bagi kami yang awam, level berjalan seperti itu sudah masuk
kategori berlari. Dan berlari di bawah langit gelap, di tengah kabut, serta di
atas gundukan pasir bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan sembari
menggigil kedinginan. Tapi jika tidak mengikuti rombongan ongkek-ongkek,
siap-siap saja tersesat sampai subuh tiba.
Sehari sebelum malam Kasada
berlangsung, beberapa dukun dari total 47 dukun Tengger terlihat sudah duduk
anteng di balik ongkek-ongkek dan mulai melayani umatnya di Pura Luhur
Poten sedari siang. Mereka ini adalah warga Tengger dari desa yang cukup jauh
dari Bromo. Berbagai tandur tuwuh (hasil bumi) di bawa oleh
masing-masing warga dalam gendongan kain dan wadah plastik. Sebelum dilarung,
masing-masing sesaji tersebut didoakan terlebih dahulu oleh dukun dari desa
asal. Tak hanya hasil kebun, beberapa warga tampak membawa seekor ayam dan anak
kambing.
Banyak yang mengira bahwa
pengambilan air suci di Semeru, Widodaren dan Madakaripura adalah bagian dari
upacara Kasada ini. Menurut Pak Sutomo, prosesi tersebut adalah rangkaian acara
Pawedalan, atau dalam agama Hindu Bali dikenal sebagai Piodalan, yaitu hari
ulang tahun pembangun pura. Jauh sebelum Pura Luhur Poten ada, masyarakat telah
merayakan malam Kasada di tempat yang sama.
"Kebetulan hari
dibangunnya Pura Luhur Poten tepat sehari sebelum upacara Kasada, makanya Pura
pun ramai sembahyangan sejak H-1 Kasada," ujar Pak Sutomo.
Malam Kasada juga disebut
sebagai malam penuh ujian bagi calon dukun. Mereka ini yang nanti akan
menggantikan dukun sebelumnya ketika sudah meninggal. Atau bisa juga saat
diperlukan dukun tambahan di sebuah desa. Setiap dukun yang dilantik seyogyanya
merupakan keturunan dari sebelumnya walaupun tidak harus selalu demikian.
Mendekati pukul empat pagi, ongkek-ongkek
yang telah didoakan di dalam Pura, kemudian segera dibawa menuju kawah diiringi
oleh lantunan alat musik tradisional. Penerangan malam yang begitu minim cukup
terbantu oleh warga yang membawa obor. Namun saya sudah tidak bisa membedakan
lagi, sedang bersama rombongan dari desa mana. Hingga kini saya masih heran,
bagaimana warga Tengger kuat menahan dingin dengan hanya bermodal penghangat
berupa sarung saja. Sementara saya harus menggunakan jaket berlapis, lengkap
dengan kaos kaki dan sarung tangan juga masker dan syal.
Lagi-lagi, mengikuti
rombongan ongkek-ongkek bukanlah hal yang gampang. Apalagi mereka sudah
terbiasa dengan medan tanjakan di lereng Bromo, rasanya berjalan cepat pun tak
masalah. Tak peduli tua ataupun muda.
Saya kehabisan nafas pada
pertengahan jalan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Pura Luhur Poten
sudah cukup jauh di bawah tenggelam dalam halimun. Sementara dari arah Timur
sayup-sayup sinar mentari mulai mengirim cahaya jingganya. Terlihat bukan hanya
saya yang menikmati momen ini. Sepertinya pengunjung lain juga sudah rindu
matahari setelah semalaman berjibaku dengan dinginnya Bromo.
Di bawah tangga Bromo saya
bertemu kembali dengan Pak Sutomo yang baru saja turun dari kawah bersama para
pengikutnya. Beliau terkekeh melihat nafas saya terengah-engah dan tertinggal
rombongan ongkek-ongkek.
Tangga menuju kawah Bromo
rupanya belum diperbaiki semenjak termakan panasnya abu vulkanik. Pasir-pasir
juga masih saja menutupi bagian undakan. Namun, eksodus masyarakat Tengger yang
akan melarung sesaji tetap tak terhenti, tak peduli bagaimana repotnya
perjalanan menuju kawah. Bisa dibayangkan sesaknya suasana di atas nanti.
Pemandangan yang sama
seperti tahun-tahun lalu kini saya saksikan lagi dari bibir kawah Bromo.
Ratusan penangkap sesaji yang berdiri di bagian lereng kawah dengan sigap akan
menghentikan setiap lemparan sesaji yang seharusnya meluncur sampai kawah.
Mereka hanya berbekal kain sarung yang dibentangkan dan jaring bergagang kayu.
Saya seperti menonton acara reality show dengan ekstrimitas tinggi yang
menguji adrenalin. Masih tidak masuk akal bagi saya, bagaimana tubuh mereka
tahan dingin semalaman berdiri di dekat kawah dengan hanya bermodal lampu
minyak. Yang jelas, orang-orang tersebut tak mengidap phobia ketinggian.
Acara larung sesaji oleh
warga Tengger berlangsung hingga sore hari. Seiring dengan itu, tangkapan warga
penangkap sesaji juga sudah berkarung banyaknya. Warga Tengger lalu kembali ke
desa asal untuk melakukan Puja Kasada bersama-sama sebagai tanda mengakhiri
malam panjang upacara Kasada tahun ini.[]
PS:
Postingan ini emang ga ada fotonya, demi mengenang foto-foto
Kasodo yang hilang entah gimana dan di mana. Ah sudahlah... :((
Legenda itu, indahnya matahari terbit di Pananjakan, kawah Bromo, lautan pasir, dan pasir berbisik mampu membuat siapapun utk kembali lagi ke Bromo.
BalasHapus