Sepeda jengki tua itu melintas
begitu saja di depan mata saya. Seorang kakek yang mengendarainya sempat
melambai dan tersenyum lebar. Saya agak terlambat sekian detik membalas sapaan
ramah tersebut. Konsentrasi terlalu fokus pada deretan truk dan bis yang
menghambat kaki saya untuk menyebrang jalan. Perlu beberapa saat untuk berhasil
mengingat siapa kakek berkacamata tadi.
Memori saya lalu melompat pada
kunjungan kemarin sore. Sebuah pintu kayu jati bercat merah menyolok, dengan kaligrafi
China berwarna kuning keemasan terukir di atasnya. Letak rumah tersebut di
Jalan Babagan, salah satu daerah yang dipenuhi dengan jejeran rumah
berarsitektur Tiongkok di Lasem. Saya berkenalan dengan penghuni rumah berpintu
apik itu. Seorang lelaki peranakan Tionghoa berusia lanjut yang memiliki nama
Indonesia, Junaedi. Orang yang juga baru saja menyapa saya di tepi jalan raya
Lasem.
Kediaman Pak Junaedi mengingatkan
saya pada banyaknya sumber bacaan yang mengatakan bahwa Lasem bagaikan Little
Tiongkok di Jawa. Rasanya tidak adil jika saya setuju begitu saja, sementara
dua kaki ini belum pernah sama sekali menginjak tanah di Cina. Pun ini adalah
kunjungan pertama saya di Lasem. Namun memang arsitektural kota kecil ini
sangat unik dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Ada pula folklore yang kerap
terdengar jika Anda berkunjung ke Lasem.
Disebutlah seorang peranakan
bermarga Han yang tinggal di Lasem ratusan tahun lalu. Han Wie Sing jatuh sakit
dan meninggal ditengah carut-marut perilaku anak-anaknya yang gemar
menghabiskan harta keluarga demi berjudi. Bahkan, dana yang dikumpulkan dari
para saudara dan tetangga untuk menguburkan sang ayah pun berakhir mengenaskan
di meja perjudian. Uang sudah tak punya, sementara jenazah harus segera
dikuburkan. Maka di suatu malam, anak-anak Han Wie Sing sepakat membawa jenazah
sang ayah yang hanya dibungkus sehelai tikar, ke sebuah tanah perkuburan. Tidak
ada peti mati, tidak ada prosesi.
Di tengah perjalanan, hujan
mendadak jatuh mengguyur bumi dengan begitu lebatnya. Kilat dan petir
berkali-kali datang menyambar. Anak-anak Han Wie Sing ngeri ketika terjebak
dalam hujan petir itu. Alih-alih segera mengubur jenazah, mereka mencari tempat
berteduh. Ah, tapi mereka tak cukup sabar untuk menanti hujan reda. Keduanya sepakat
untuk pulang dan meninggalkan jenazah di tanah tersebut dengan maksud
menguburkannya esok hari.
Tapi sayangnya, jenazah itu sudah
hilang ketika mereka datang kembali, digantikan sebuah nisan tanpa nama. Konon,
saat itu juga terdengar sebuah suara murka seorang laki-laki yang melarang
marga Han keturunannya untuk menginjakkan kaki di Lasem. Meski telah berlalu
tiga ratus tahun lalu, namun kutukan marga Han ini kabarnya, masih dipercaya
hingga detik saya berada di Jalan Babagan dan mendengar cerita ini digulirkan.
Penasaran membawa kaki saya
mengunjungi makam Han yang tersohor. Melewati komplek pekuburan Muslim, menyendiri
di tengah-tengah hamparan sawah, berdiri sebuah nisan besar berwarna putih yang
secara arsitektural tak jauh beda dengan makam Cina lainnya. Saya tak tahu
apakah di dalamnya adalah jenazah Han Wie Sing yang kerap disebut dalam
folklore tadi, atau seorang Han lainnya. Yang pasti folklore ini seakan menciptakan
identitas lain untuk Lasem, yakni sebagai sebuah kota terlarang bagi marga Han.
Entah benar atau tidak, namun cerita ini tetap diturunkan dan dituturkan
sebagai bahan pembelajaran hidup pada generasi berikutnya.
“Mari silahkan masuk! Rumah ini
pernah dibuat untuk syuting film Ca Bau Kan dan Karma,” ucap Pak Junaedi,
ketika saya mengutarakan kekaguman pada tiap sudut rumah tua ini. Hijau muda
menjadi dominasi tiap ruangan yang ada di dalamnya. Sangat kontras dengan pintu
kayu di depan. Pemilihan warna memang cukup berperan penting dalam budaya
Tionghoa. Masing-masing memiliki makna dan maksud sesuai yang diinginkan oleh
si pemilik rumah. Seperti warna merah menyala yang merepresentasikan keinginan
penghuni rumah untuk mendapatkan kemakmuran dan keberuntungan.
Hampir seluruh kampung di Lasem
memiliki model arsitektur rumah khas Tiongkok seperti kediaman Pak Junaedi. Dua
buah daun pintu kayu di depan dengan ukiran tulisan China di atas permukaannya,
melekat tepat di tengah tembok besar bagai benteng yang mengelilingi seluruh
kediaman tersebut. Luas satu rumah bisa mencapai 1000 meter persegi, atau
bahkan lebih! Ironisnya, rumah seluas lapangan tersebut hanya dihuni satu
hingga dua orang saja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang
lanjut usia ini menghabiskan hari-hari mereka. Just like living in a lonely planet.
Begitu pintu kayu terbuka, maka
saya seperti bermain dengan mesin waktu yang mampu mengantar imaji pada wujud
arsitektur ratusan tahun lalu. Halaman depan menjadi semacam karpet merah sebelum
memasuki ruang tamu yang terbuka. Beberapa kursi kuno tertata rapi di tiap
sudut ruangan tersebut. Lukisan portrait leluhur pertama di pajang di sisi
kanan dan kiri ruangan tersebut. Dua buah kaca vintage penuh ukiran tergantung di
tembok, bersanding di sebelah wajah pemilik rumah.
“Ini buyut saya dari Tiongkok,
beliau menikah dengan wanita asli Lasem. Saya adalah generasi ke empat yang
tinggal di rumah ini.” Pak Junaedi menunjuk dua lukisan hitam putih berukuran
extra besar di ruang tamu. Tepat di tengahnya terdapat sebuah pintu menuju
ruangan di dalam rumah. Saya melihat sebuah altar sederhana berdiri di tengah
ruangan temaram. Ada bingkai foto leluhur keluarga di atasnya. Melewati altar,
kaki saya di bawa masuk ke ruangan belakang di mana terdapat dapur, sumur dan
kamar mandi. Selebihnya adalah halaman yang ditumbuhi oleh pepohonan.
Rumah Tiongkok ini umumnya didesain mengikuti feng shui yang menganut aturan utara sebagai lambang
air, timur mewakili elemen kayu, selatan sebagai api, dan barat yang
menggambarkan logam. Mungkin karena hal itulah, rumah-rumah tradisional lainnya
juga memiliki bentuk, tatanan, dan detil ornamen yang sama persis. Yang
membedakan hanyalah warna cat pintu depan, warna tembok di dalam rumah, serta
modifikasi halaman depan dan belakang.
Rumah Pak Sigit Witjaksono,
contohnya. Karena berprofesi sebagai seorang pembatik, maka beliau menyulap
halaman belakang rumah menjadi sebuah studio batik sederhana. Siang itu seorang
wanita tua bernama Sumini yang membukakan pintu. Tidak ada kaligrafi Cina
terukir di atas permukaan kayu jati tersebut. Sengaja dihilangkan oleh tuan
rumah demi mematuhi aturan pemerintah masa Orde Baru lalu. Berbeda dengan rumah
Pak Junaedi yang lebih simple, kediaman Pak Sigit tampak sangat meriah. Dinding
ruang tamunya dipenuhi oleh foto leluhur dan keturunan yang ditata acak termasuk portrait Gus Dur dan Bung Karno. Ditambah lagi
kedatangan saya juga disambut oleh suara lagu-lagu Mandarin yang diputar dengan
volume maksimal.
“Kalau ngomong sama Bapak,
suaranya harus keras. Pendengaran Bapak kurang bagus.” Ibu Sumini, yang sudah
23 tahun bekerja sebagai pengrajin batik pesisiran di sini, bertutur menggunakan bahasa
Jawa halus. Maka lewat kediaman ini, saya kini melihat Lasem dari sudut pandang
identitas yang lain lagi. Yaitu sebagai salah satu kota penghasil batik
pesisiran.
“Meski sudah tua, tapi saya ini
suka karaoke!” kata Pak Sigit sembari mematikan televisi 14 inch di ruang tamu.
Senyum selalu terkembang di wajah kakek berusia 82 tahun ini. Masih tampak
bugar, kala saya bertandang ke rumahnya. Beliau mengenakan batik berwarna merah
cerah hasil desain sendiri. Dalam sejarah perbatikan, Lasem terkenal sebagai
daerah penghasil warna merah secerah darah ayam. Pak Sigit berbangga hati
ketika menyebutkan bahwa 10 hingga 20 tahun lalu tidak ada kota-kota batik lain
seperti Yogyakarta dan Solo yang mampu menghasilkan warna merah seperti Lasem.
Penelitian menyebutkan bahwa keunikan tersebut adalah pengaruh dari kandungan
mineral pada sumber air di Lasem yang tidak terdapat pada daerah lainnya.
“Tapi sekarang teknologi sudah
maju, banyak daerah yang sudah bisa membuat warna merah darah ayam,” ujar Pak
Sigit yang juga memiliki nama Njo Tjoen Hian ini. Batik Lasem juga dikenal
memiliki corak yang khas, yaitu gabungan dengan nuansa Tiongkok, seperti adanya
gambar burung Hong dan singa. Yang terkenal adalah motif batik Tiga Negeri. Dalam perkembangannya, Pak Sigit juga menambahkan
huruf-huruf Mandarin, yang bila dirangkai artinya akan membentuk sebuah kata
mutiara, di atas batik produksinya. Tak banyak pembatik yang bekerja di studio
sederhana miliknya. Saya hitung tak sampai sepuluh wanita berada di sana.
Kakek yang mengaku pernah
berakting menjadi ayah Ferry Salim dalam Ca Bau Kan ini juga sedikit banyak
mengungkit sejarah Lasem yang beliau kutip dari Babad Badrasanti. Kitab
berbahasa jawa kuno tersebut tersebut juga memuat tentang kedatangan Laksamana
Ceng Ho pertama kali di kota pesisir ini. Dalam ekspedisi Ceng Ho ini, seorang
gadis, anak dari nahkoda kapal yang dikenal sebagai Putri Campa, menikah dengan
petinggi kerajaan Lasem yaitu Pangeran Badranala. Putri Campa inilah yang konon,
berperan dalam sejarah perbatikan di Lasem, sehingga tampak kental bernuansa
Tiongkok.
Lasem adalah contoh daerah pesisir
utara Jawa dengan sejarah dan ragam budaya yang tak habis jika dikuliti dalam
sehari saja. Sudut-sudut kota kecil ini kaya akan peninggalan kerajaan, jejak
kekuasaan Belanda, hingga tanda pendatang dari Tiongkok. Kekayaan arsitektural adalah
bukti nyata bahwa kota ini memiliki catatan cerita masa lalu yang panjang. Satu
klenteng saja bisa memuat kisah yang berlembar-lembar. Sementara di Lasem
terdapat tiga klenteng tua yang keindahan detil bangunannya masih terjaga dan
sangat terawat.
Cu An Kiong contohnya. Sebuah
klenteng yang dipercaya sebagai klenteng tertua di Lasem, berdiri di Jalan
Dasun tepat menghadap ke sebuah sungai kecil. Di dalamnya terdapat patung Dewi
Laut, sebagai dewi pelindung para pendatang yang tinggal menetap di Lasem.
Klenteng cantik ini masih mempertahankan berbagai ornamen kuno penuh makna dan
bernilai tinggi. Ukiran kayu sebagai pintu klenteng disebutkan asli buatan
tangan para pendatang dari Tiongkok berabad lalu. Ditambah pula deretan lukisan
yang digambar langsung di permukaan dinding sebagai ‘kitab’ pencerita sejarah
berdirinya klenteng.
Jangan heran bila menemukan kantor
polisi bergaya kolonial di pinggir Jalan Raya Lasem. Bangunan dan rumah-rumah
indische juga memiliki detail yang tak kalah menarik dibandingkan rumah
peranakan Tionghoa. Sebuah rumah bergaya kolonial yang sempat saya kunjungi
bahkan memiliki lebih dari lima desain cetakan ubin yang berbeda-beda pada tiap
sudut ruangan di dalamnya. Menurut Pak Slamet, sang penjaga rumah, ubin seperti
itu sudah tidak bisa diproduksi lagi. Walaupun terkesan berantakan karena
bermain tabrak pattern serta warna, namun pemandangan di rumah yang konon
dibangun pada tahun 1800an ini, menjadi keunikan tersendiri. Susah
untuk ditemukan pada rumah-rumah modern zaman sekarang sekalipun katanya menganut gaya Eropa. Rumah indische umumnya memiliki ornamen khas yang berpola serba
melengkung, entah itu pagar rumah, kursi, tiang penyangga ataupun lampu teras.
Persamaan dengan rumah tradisional Tionghoa, hanya satu, rumah indische juga
memiliki luas yang tak kira-kira.
Namun, miris ketika melihat
sebagian besar rumah-rumah kuno ini ditinggal penerusnya dalam keadaan tak
terawat, lantai mulai tertutup debu, daun-daun kering berserakan, pohon mati
hingga rumput liar menjulang di halaman depan, cat-cat tembok yang mengelupas,
ornamen besi yang semula cantik kini menjadi onggokan berkarat, banyak kayu
dimakan rayap bahkan dicuri oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Lalu rasa
salut saya mulai timbul, melihat beberapa orang yang sudah berusia lanjut
tetapi masih berusaha merawat rumah leluhurnya sebaik mungkin. Meskipun itu
artinya, mereka harus tinggal seorang diri di dalamnya.
Bayangkan ratusan tahun lalu, kota
kecil yang dihimpit oleh Surabaya dan Semarang ini, merupakan salah satu daerah
di pesisir Pantai Utara Jawa yang begitu sibuk. Lasem, berada di titik
koordinat perdagangan yang sangat menggiurkan bagi para saudagar besar untuk
bersandar. Tak berlebihan mungkin, bila dahulu kala Lasem pernah diduga sebagai
daerah favorit untuk menyelundupkan opium
di Pulau Jawa karena letaknya yang strategis.
Lasem kini mungkin tak lagi
seramai dan sejaya ratusan tahun lalu. Bagi sebagian orang, kota tua ini tak
lebih dari jalur lewat kendaraan raksasa yang melaju di sepanjang Pantura. Ya,
saya menemukan sebuah buku di Jalan Dasun yang berjudul Lasem: Negeri
Dampoawang Yang Terlupakan. Tapi melupakan kota kecil ini mungkin tak bisa
dilakukan begitu saja oleh sebagian orang lain, karena bagaimanapun Lasem
memiliki peran penting yang tak bisa dihapus dari catatan sejarah panjang akan
kedatangan leluhur Tionghoa di Nusantara. [Mei 2011]
Trima kasih tulisannya,memberi gambaran tentang Lasem bagian utara. Saya baru seminggu lewat sehari di Lasem. Begitu membaca tulisan ini, ada gambaran tentang Lasem bagian utara.
BalasHapusrumah saya di soditan situ. sekarang aya masih study di Filsafat UGM. kalo masih tertarik dengan lasem, mungkin kapan2 kita bisa komunikasi.
BalasHapussalam
Akid A.H
batik yang masih ada unsur cina, warnanya cerah ya.. unik!
BalasHapus