Dengan menempuh delapan
jam perjalanan dari Surabaya, kami pun memutuskan berangkat menggunakan bus
umum jurusan Situbondo. Karena ini sebuah pertaruhan, maka bayangan Baluran di
kala musim penghujan tak hentinya menghantui sejak berangkat dari rumah.
Swiss Winasis, seorang
teman yang juga menjabat sebagai petugas Pengendali Ekosistem Hutan taman
nasional ini, menyambut kedatangkan kami dengan agak pesimis. "Kalau
hujan-hujan seperti ini, jarang ada hewan yang keluar ke savana. Mereka sudah
punya asupan air dari hutan, jadi tidak perlu repot jalan keluar,” kata Swiss.
Swiss bercerita panjang
lebar tentang saat pertama kami tiba di Batangan, pos masuk taman Nasional
Baluran. “Kalo musim hujan, yang bertambah banyak ya kupu-kupu, karena
bunga-bunga sedang bermekaran," sambung Swiss yang sudah tiga tahun
bertugas di Baluran itu.
Saya tidak perlu
meragukan kebenaran teorinya lagi. Deru suara motor bebek yang kami sewa
sepertinya berhasil mengejutkan ratusan kupu-kupu yang tengah berjemur di
sepanjang evergreen, yaitu sebuah kawasan yang tidak pernah mengering
sepanjang tahun. Selalu tampak hijau dan terasa teduh. Kawasan ini memang
sebuah keajaiban di tengah iklim Baluran yang kering kerontang.
Kupu-kupu kecil ini
melayang spontan, berhamburan. Sayap-sayapnya menampar lembut wajah saya yang
tak kalah kaget melihat banyak spesies cantik multiwarna di udara. Tak lama
setelah motor yang saya tumpangi lewat, gerombolan Ornithoptera itu tampak kembali mendaratkan kaki-kaki rapuhnya di
tempat semula. Melanjutkan aktivitasnya yang sempat terganggu oleh kedatangan
kami.
Motor bebek kembali
melaju menembus jalanan basah yang permukaannya dipenuhi guguran bunga-bunga
kecil berwarna merah muda. Di sisi kiri terlihat bayangan Gunung Baluran yang
tampak semakin dekat. Sementara awan mendung yang sedari tadi bergulung
menurunkan hujan, sedikit demi sedikit tergeser oleh cahaya matahari senja.
Sambil terus menembus
hutan, menghirup sisa aroma tanah yang menguar bekas hujan menjadi kenikmatan
adiktif tersendiri bagi saya. Hingga seekor elang besar tiba-tiba melintas
rendah, merentangkan sayap lebarnya di atas kepala, mengagetkan kami. Disusul
dua-tiga ekor kelelawar besar yang tampak mulai bergegas mencari makan.
Perasaan saya campur aduk. Kaget dan takjub melebur menjadi satu saat itu.
Menyusul beberapa meter
di depan, sepasang ayam hutan berwarna hijau terlihat berjalan hilir mudik
memamerkan bulu warna-warni yang menutupi tubuhnya. Karena tak mau ketinggalan
moment ini untuk diabadikan, mesin motor kemudian dimatikan pada jarak yang
lumayan jauh.
Saya berjalan
mengendap-endap seperti pencuri demi menemukan lokasi terdekat yang tepat untuk
memotret duet ayam fashionista ini. Cara seperti ini memang harus dilakukan
sebelum satwa yang kita incar menyadari adanya manusia di sekitar sana. Dan
benar saja, setelah mengambil beberapa gambar, ayam-ayam ini terbirit-birit
merangsek masuk ke hutan begitu mendengar suara berisik mendekat. Ada pula yang
buru-buru hinggap ke atas ranting pohon. Baru kali ini saya melihat ada ayam bisa
terbang setinggi itu lalu berkokok keras di sela-sela rimbunnya pohon.
Konon pada medio 1950,
kaisar Jepang pernah berkunjung ke Baluran hanya untuk melihat ayam hutan. Saat
itu para ranger sibuk mengatur bagaimana ayam-ayam ini bisa keluar saat
sang kaisar melintas. Akhirnya ditaburkanlah biji jagung di sepanjang rute sang
kaisar. Ayam-ayam mungil berkaki pendek ini pun muncul. Dengan rakus mereka
melahap biji jagung yang disebar itu. Dan membuat mereka acuh pada Kaisar yang
sedang melintas.
Meninggalkan evergreen, lagi-lagi saya harus dibuat
ternganga oleh seekor merak hijau yang kepalanya timbul tenggelam di antara
ladang bunga Kapasan. Saat kami mendekat, merak cantik itu tersadar dan
langsung terbang tanpa mengizinkan shutter kamera saya menangkap gambar untuk
saya bawa pulang. Ah, ini memang bukan kebun binatang, di mana saya bisa dengan
mudah memotret satwa dalam kurungan.
Karena memiliki
keragaman tipe hutan, hal tersebut menarik berbagai jenis burung untuk
membangun habitat di taman nasional ini. Tentu ini menjadi semacam surga
tersendiri bagi mereka para pelancong yang suka melakukan birdwatching.
Tentu tak cukup mengkhatamkan Baluran yang seluas ribuan hektar hanya dalam
satu atau dua hari, apalagi jika benar-benar ingin melihat 190 species
burung yang ada.
Saya tidak bisa
membayangkan lalu lintas keramaian satwa liar yang muncul ketika kemarau, tiba,
seperti yang orang-orang banyak ceritakan. Saat musim seperti ini saja, sudah
banyak burung-burung berwarna-warni terbang bebas di kanan kiri. Seperti
mencemooh kamera saya yang kesulitan menangkap gambaran mereka. Ini bahkan
belum setengah hari kami berada di sini. Saya pun mulai merasa bahwa tidak ada
yang salah dengan Baluran di kala musim hujan.
***
Jantung Taman Nasional
Baluran terletak pada savana Bekol. Membutuhkan waktu hampir satu jam dengan
kendaraan bermotor untuk mencapainya terhitung dari pos pintu masuk di
Batangan. Savana ini merupakan tempat berkumpul segala jenis satwa pada musim
kemarau, termasuk spesies langka seperti Banteng Jawa yang merupakan maskot
Taman Nasional Baluran. Semua berpusat di Bekol karena hanya savana ini yang
masih memiliki genangan air di masa kering.
Saya sendiri belum
pernah melihat banteng secara langsung kecuali di televisi. Selama di Baluran
pun, saya tidak menemukan satwa tersebut kecuali fosil kepala banteng dan
kerbau liar dipajang tak berdaya di dinding sebuah pos ranger. Dengan kepala
sebesar itu, saya hampir bisa membayangkan seperti apa ukuran tubuh mereka. Dua
tanduknya begitu runcing, cukup untuk membuat matador yang paling pemberani
sekalipun berlari lintang pukang menyelamatkan diri.
Menurut petugas Taman
Nasional ini jumlah Banteng Jawa di Baluran sedang berada dalam posisi yang
mengkhawatirkan. Selain karena perburuan liar dan predator, salah satu
penyebabnya adalah terjadi invasi Acacia
nilotica yang merubah feeding ground
banteng tersebut.
Pohon akasia berduri ini
telah menjadi momok tersendiri bagi kelangsungan hidup Taman Nasional Baluran.
Mereka tumbuh subur dan liar mengalahkan
vegetasi asli Baluran, dan akan terlihat semakin segar dan lebat dikala musim
hujan tiba. Petugas Taman Nasional bahkan menyebutnya sebagai spesies neraka
saking merepotkannya untuk dibasmi.
Walaupun kecil
kemungkinan melihat banteng, tapi saya masih berharap bisa bertemu rusa.
Nyatanya salah satu alasan yang membuat saya tertarik mengunjungi Baluran
adalah sebuah scene dalam film nasional berjudul King. Film garapan Ari
Sihasale itu sempat melakukan pengambilan gambar dari helikopter di atas
wilayah taman nasional ini. Dalam film tersebut, tampak puluhan rusa berlarian
di tengah padang rumput.
Masalahnya saat ini
Bekol bukan lagi berupa savana lapang, sejauh mata memandang yang ada hanyalah
padang bunga Kapasan dengan latar Gunung Baluran menjulang. Saya semakin ragu
untuk bisa bertemu dengan keluarga rusa. Mengingat batang bunga kapasan setingi
satu meter lebih. Cukup tinggi untuk menyembunyikan kawanan rusa.
Flora cantik berwarna
kuning ini sebenarnya dianggap sebagai tanaman yang mengganggu vegetasi utama
di Baluran, yaitu rumput savana. Secara rutin, petugas taman nasional memangkas
ribuan batang bunga kapasan demi mengembalikan Bekol menjadi savana seperti
sedia kala.
Saya tidak tahu butuh
waktu berapa lama untuk membersihkan bunga-bunga seluas ratusan hektar itu.
Masalahnya, meski sudah dipotong berulang kali, bunga ini bisa tumbuh lagi
dengan cepat.
Saat melintas di samping
rerimbunan bunga kapasan, saya melihat beberapa bayangan berwarna cokelat
berkelebat. Secara reflek saya berteriak histeris mencoba menghentikan teman
yang sedang mengemudikan motor.
“Rusa! rusa! Berhenti!
Ada rusa…”
Terkejut dengan komando
yang saya berikan. Teman saya menghentikan motor sedapat-dapatnya. Ternyata
menekan rem saja tidak cukup di jalan yang licin penuh lumpur itu, apalagi akhirnya
kami tahu ban motor ini sudah aus. Alurnya habis sehingga tidak bisa
mencengkeram tanah dengan sempurna. Akhirnya kami jatuh terjerembab. Dan tiga
pasang rusa yang tadi lari menjadi diam. Memperhatikan kami yang bangun dengan
payah.
Saya hanya tersenyum
menatap balik tiga rusa itu. “Hello, Mister Deer…,” ucap saya lirih. Rusa-rusa
itu bahkan masih saja terdiam beberapa menit, menatap lugu dan tampak terkesima
dengan tingkah laku kami.
Tanpa pikir panjang
segera saya arahkan lensa tele saya dan menjepret sebisanya. Sepersekian detik
kemudian rusa-rusa cantik itu tersadar. Mereka kembali merangsek masuk di
rerimbunan bunga kapasan. Tentu saja ini adalah pengalaman yang luar biasa. Adventurous. Akhirnya saya bisa bertegur
sapa dengan rombongan rusa anggun di sebuah sore yang sempurna.
***
Taman Nasional Baluran
ini memiliki berbagai fasilitas menginap yang cukup memadai. Salah satu yang
cukup populer adalah sebuah resor di tepian Pantai Bama. Dengan tarif Rp. 350.000
per malam ini adalah harga yang cukup murah bagi sebuah penginapan yang
menawarkan konsep perfect hideaway. Tidak ada satu pun sinyal
yang bisa ditangkap di pantai ini.
Pantai Bama adalah salah
satu tempat favorit satwa-satwa seperti kijang, kerbau, dan rusa untuk mencari
sumber mineral. Pantai ini dipenuhi oleh kelompok kera abu-abu (Macaca fascicularis), dikelilingi oleh
hutan mangrove yang lebat, dan menjadi spot terbaik untuk menyaksikan sunrise.
Bila air laut sedang tidak pasang, bibir pantai akan berubah menjadi Padang
Lamun yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh nelayan sekitar untuk mencari
berbagai jenis ikan.
Dari pinggir pantai ini
pula, saya bisa menyaksikan bayangan rerimbunan hutan Taman Nasional Bali Barat
yang tampak dari kejauhan terpisah oleh selat Bali. Pada akhir pekan, pantai
ini akan dipenuhi penduduk yang tinggal di sekitar taman nasional untuk
berwisata.
Saat tiba di Pantai
Bama, kami direpotkan oleh serangan empat ekor kera dewasa. Saya sontak
kebingungan ketika melihat gerombolan kera abu-abu ini berhasil menyandera
ransel merah milik teman perjalanan saya. Suara sobekan kain ransel menyadarkan
saya bahwa mereka sedang tidak bercanda. Apalagi ketika seekor pejantan
memamerkan taring tajamnya, menyeringai. Seperti tahu persis bahwa saya sedang
ketakutan saat itu.
Terakhir saya tahu dari
Pak Supono, seorang petugas yang menjaga penginapan di Pantai Bama, mengatakan
bahwa kera-kera menjadi nakal karena terlalu sering dimanjakan turis. Karena
sering diberi makan, timbul keberanian bagi satwa itu untuk memaksa. “Sudah saya
bilang, buat pengunjung tidak perlu kasih makan kera, tapi selalu saja
diabaikan…” kata Pak Supono.
Setelah ransel yang
terkoyak itu berhasil diselamatkan, tanpa perlu pikir panjang lagi kami segera
meninggalkan Pantai Bama dan kembali ke savana Bekol untuk bermalam.
Penginapan di Bekol ini
cukup murah, satu kamar bertarif Rp. 35.000 rupiah per orang. Dan handphone
kami masih bisa menerima sedikit sinyal di daerah ini, meski seringkali timbul
tenggelam. Sedangkan listrik hanya bisa dirasakan pada pukul 6 sore hingga 11
malam saja. Lewat dari itu, praktis penginapan dan daerah sekitarnya tampak
gelap gulita dan nyaris sunyi senyap jika saja tidak ada suara hewan-hewan liar
bersahutan dari dalam hutan.
Sebenarnya jika
tertarik, pengunjung bisa melakukan night safari untuk melihat aktivitas
satwa nokturnal, seperti gerombolan anjing hutan. Tapi toh kami lebih tertarik
mencoba night photography di halaman depan penginapan. Minimnya cahaya
membuat Baluran menjadi tempat yang pas untuk merekam pergerakan ribuan bintang
dengan foreground berupa bayangan
hitam segitiga Gunung Baluran.
Saat fajar menyingsing,
hal ternikmat yang bisa saya rekomendasikan adalah berjalan keluar dari
penginapan, melemaskan kaki di sepanjang jalan tanah savanna Bekol, atau
sekedar menghirup mewahnya kabut pagi. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan
racun polusi.
Memotret bulir-bulir air
embun yang menggantung di pucuk daun adalah kesenangan saya yang lain. Melihat
dari dekat barisan siput-siput berjalan lambat, berhenti untuk mengunyah dedaunan
basah dengan sabar menggunakan mulut mereka yang ompong. Dan seketika
ketenangan merasuk saat gendang telinga mendengar kicauan burung-burung pagi
yang berlalu-lalang.
Sementara itu
pucuk-pucuk perdu tampak dikuasai oleh gerombolan burung layang-layang asia (Hirundo rustica) yang bertengger
menghangatkan diri. Dan petal-petal bunga Kapasan sendiri masih menguncup,
seperti belum puas tertidur lelap setelah diguyur dinginnya air hujan sepanjang
sore. Di kejauhan tampak samar pergerakan tanduk-tanduk rusa yang tenggelam
oleh rimbunnya kebun bunga kuning ini. Kelompok kera abu-abu juga mulai
gemerisik di balik lebatnya pepohonan hingga bergelimpangan di tengah jalan
aspal menikmati sinar matahari yang hangat menembus bulu-bulu halus mereka.
Saat fajar menyingsing,
maka sekali lagi kehidupan telah kembali di Baluran. Sama seperti siklus ribuan
tahun yang lalu, saat manusia belum menjamah taman firdaus ini. Saya bersyukur
dalam hati, dan hanya berharap agar siklus ini berjalan lestari. Ribuan tahun
lagi. []