Warung kopi Sarkam, Jalan Nyamplungan Ampel Surabaya - foto oleh Ayos P
Seorang sahabat yang sedang mengais rejeki ratusan kilometer di ujung Jawa selalu dengan puas dan bahagia menertawakan kebiasaan buruk saya saat meminum segelas kopi. Bukan, bukan diare. Mabuk mungkin kata yang lebih tepat.
Pada setiap tegukan kopi yang saya rasakan begitu nikmat, saat itu pula saya secara sadar telah membuka gerbang untuk sekian ppm konsentrasi kafein menyebarkan efek psikoaktif masuk menyelip dalam sel-sel otak terumit. Kesulitan tidur merupakan hal ke sekian yang harus saya sesali setelah itu. Tapi, jantung berdegup kencang ditambah pikiran melayang kemana-mana adalah dua monster tepat yang sangat merepotkan.
Pernah suatu kali, saya begitu tergoda melihat pesanan seorang teman ketika berada di sebuah kafe. Segelas coffee latte dengan busa-busa yang mirip sabun menyembul di permukaannya. Saya inciplah sedikit demi sedikit. Enak ternyata. Menyusul pada dini hari yang sudah senyap, saya ngoceh di timeline akun twitter saya sendiri. Lalu dengan random mengirim sms bertema cinta-cintaan pada beberapa teman. Menelepon salah satu dari mereka, hanya demi mengeluarkan uneg-uneg yang tidak jelas juntrungan dan maksudnya apa. Jemari saya shaky, imaji saya loncat kesana kemari, dan saya akan menderita kegusaran yang berlebihan bila tidak segera melakukan apa yang otak saya perintahkan. Semua gara-gara alkaloid bernama kafein yang diisolasi dari biji kopi oleh seorang alchemist Jerman itu.
Saya bukan kapok minum kopi. Hanya saja saya terlanjur malas memikirkan kerepotan yang bisa terjadi beberapa jam seusai menikmati tetes terakhir. Caffeine controls my mind.
*
Malam itu saya terdampar di sebuah warung kopi di kawasan Ampel, di tepi jalan Nyamplungan. Duduk di sebuah bangku kayu panjang, bersandar tembok, melipat kaki dan menengok kanan kiri. Teman saya sibuk berbasa-basi dengan seorang barista berwajah sedikit Arabic. Konon, sang barista adalah generasi penerus warung bernama Sarkam yang sudah berdiri sejak tahun 1957 ini.
Warung itu begitu kecil, tapi pengunjung tak henti silih berganti. Mereka saling bersalaman, menyapa dengan akrab, memesan, membayar, lalu pergi membawa gelasnya keluar warung untuk sekedar bercengkrama di trotoar. Tak perlu membawa segepok uang ke sini. Segelas kecil kopi hitam hanya ditarik dua ribu rupiah.
Entah karena malam itu adalah salah satu malam Ramadhan, suasana warung kopi Sarkam ini terekam begitu sempurna dari panca indra saya. Pria-pria berkopyah tenggelam dalam nikmat cairan berwarna hitam pekat, lalu percakapan yang menghangat menggunakan aneka ragam bahasa daerah di tengah lantangnya nyanyian puji-pujian kitab suci yang dikumandangkan masjid sekitar.
Pantas saja jika warung yang buka 24 jam ini memiliki banyak pelanggan tetap. Harga yang sangat merakyat dan suasana yang susah didapatkan di warung kopi atau kafe lain. Sayangnya, malam itu hanya saya yang berjenis kelamin perempuan di dalamnya. Agak mati gaya juga. Sementara teman saya sibuk memotret ini itu, membuat beberapa pengunjung salah tingkah. Saya bingung harus ngapain. Ah, tapi sepertinya juga tidak ada yang perhatian. Toh, semua lelaki ini sibuk dengan gelas-gelas kecil di depannya.
Seperti apa rasa kopi di sini? Saya memandang gelas belimbing berisi kopi susu milik teman. Warnanya agak cokelat. Dan saya ingin mencecapnya sedikit saja. Tapi, sudahlah. Mending saya tidak usah memesan kopi bentuk apapun.
“Mbak, dari TV mana?” lelaki di depan saya yang tadi asyik berbincang dengan rekannya tiba-tiba bertanya.
“Ngga dari TV mana-mana, Pak…”
“Oh, saya kira sedang syuting jelajah kuliner Ramadhan… hahaha…”
Temannya yang lain menimpali, “ah kok saya curiga ini bukan dari TV mana-mana.”
“Lho, beneran , Pak…"
Si Bapak pertama rupanya agak terpengaruh dengan ucapan kawannya, “nanti saya dikasih tau tayang di mana dan jam berapa ya, mbak… hahaha….”
Saya meringis, tapi lebih karena si Bapak pertama suka mengakhiri semua kalimatnya dengan "ha ha ha". Meskipun itu tidak lucu.
Kedua bapak gemuk tadi dengan cepat melupakan kehadiran saya. Mereka kembali pada aktivitas awal, menyeruput kopi. Malam semakin larut, pengunjung datang dan pergi, dan sepanjang pengamatan saya, sang barista berkaos biru masih tak berhenti juga mengaduk gelas-gelas belimbing di depannya. Ah, saya begitu iri dengan orang-orang di sini. Sebenarnya sih saya bisa saja nekad ikut memesan dan minum kopi yang katanya legendaris ini. Tapi bagaimana kalau nanti malam saya kesetanan lalu kembali mengirim sms yang memalukan secara tidak terkendali pada siapapun dalam daftar kontak hape saya?
Sebenarnya saya memikirkan sebuah ide yang (menurut saya) cukup cemerlang. Ada sebuah teori yang selalu dan hampir selalu dipraktekkan ketika saya melakukan analisis sebuah sampel di laboratorium. Teori tersebut adalah pengenceran. Kafein sebagai sampel terlarut dan air adalah pelarutnya. Tapi tentu saja jika saya langsung mengencerkan segelas kopi maka akan mengurangi kenikmatan yang seharusnya terasa. Sebagai alternatif, ketika saya berniat minum segelas kopi, mungkin saya harus menyediakan dua gelas air putih. Ketika gelas kopi tersebut habis, yang saya lakukan berikutnya adalah meminum dua gelas air putih secara langsung. Dengan begitu mungkin konsentrasi kafein yang sudah masuk bisa diencerkan sekian ppm di dalam tubuh. Efek psikoaktif juga bisa dikurangi sedikit. Tapi semua ini hanya teori-mungkin yang saya buat-buat sendiri. Masih perlu banyak optimasi.
“Di Sarkam ini yang terkenal kopi Majun, Put... Buat meningkatkan vitalitas pria.” Teman saya berbisik-bisik sembari cengar-cengir sebelum meneguk segelas kopi kecil di tangannya.
“Oh ya? Kamu pesen itu?” tanya saya asal.
“Ya lahpo?!” (Ya ngapain?!)
“Ya, kenapa enggak?” Pikir saya saat itu, mengingat ramuan Madura pun pernah dia tenggak.[]