Jumat, 08 Juli 2011

Potehi: Wayang Tradisional dari Tiongkok





Hong Tiek Hian kini menjadi satu-satunya klenteng di Surabaya yang menyediakan pertunjukkan Potehi. Kesenian khas tradisional Cina Selatan yang telah berusia ribuan tahun ini datang ke Nusantara seiring dengan migrasi penduduk Tiongkok pada abad 16. Potehi berasal dari kata Pou (kain), Te (kantong), Hi (wayang) yang aturan mainnya mirip dengan wayang tradisional Indonesia. Hanya saja Potehi berbentuk seperti boneka berkantong, yang digunakan sebagai tempat memasukkan tangan sang dalang.

Sama seperti kebudayaan peranakan Tionghoa lainnya, Potehi sempat dilarang untuk dimainkan oleh pemerintah Indonesia pada waktu lampau. Padahal tak sedikit juga penikmat dan penggiat Potehi yang sebenarnya adalah orang Indonesia yang tidak memiliki darah Tionghoa. Walaupun di Surabaya hanya ditemukan pada satu klenteng, tapi hal ini jauh lebih baik daripada masa-masa suram dahulu, karena Potehi kini bisa secara bebas dimainkan kembali.

Adalah Sukar Mujiono yang bertugas menjadi dalang saat saya mengunjungi klenteng yang dibangun pada tahun 1800an ini. Setiap harinya, dia dapat memainkan Potehi sebanyak tiga kali dengan durasi dua jam, dibantu oleh seorang asisten dalang, dan diiringi tiga pemain musik tradisional Tiongkok. Panggung tempat mereka bekerja tidaklah besar, hanya sepetak kotak saja yang muat terisi satu peti berisi boneka wayang, dan beberapa kursi untuk dalang dan para pengiring musik.

Bagi para umat yang baru mendapat rezeki, maka menanggap pertunjukkan Potehi di klenteng adalah bagian dari wujud rasa syukur. Menjelang Imlek adalah hari-hari yang paling sibuk dan ramai akan permintaan Potehi. Mereka juga bebas meminta cerita yang ingin dimainkan. Pak Mujiono bercerita bahwa ia pernah membawakan sebuah cerita sejarah yang baru benar-benar tamat setelah dimainkan selama satu bulan dengan durasi per hari yaitu empat jam penuh.

Wayang di klenteng ini biasa diceritakan menggunakan tiga bahasa, yaitu Hokian, Indonesia dan bahasa Jawa, untuk memudahkan memahami cerita. Pantas saja, jika diawal pertunjukkan saya tidak memahami apa yang digumamkan oleh sang dalang. Ternyata beliau sedang memberikan salam dan berdoa kepada empat dewa penghuni klenteng dengan menggunakan bahasa Hokian. Barulah setelah itu, suara musik ditabuh mulai terdengar, dan seketika tangan-tangan gesit dalang yang terbalut boneka wayang mulai bermain dan melompat-lompat lincah di panggung kecilnya.

Pak Mujiono telah terbiasa duduk di balik layar Potehi sejak masih sekolah dasar. Pada masa itu paman beliau bertugas menjadi dalang di klenteng yang sama. Pak Mujiono kecil hanya membantu memainkan alat musik pengiring saja. Lelaki yang tinggal di kampung Dukuh Selatan ini mulai belajar menjadi asisten dalang saat menginjak sekolah menengah pertama, sekitar tiga puluh tahun yang lalu, hingga benar-benar menjadi dalang dan melakoni profesinya dengan setia hingga detik ini.

“Potehi adalah bagian dari klenteng. Setiap hari harus dimainkan meskipun tidak ada permintaan khusus dan tanpa penonton," ujarnya. []

5 komentar:

  1. tuh kan keponakannya nggak diajak ama bulek XD

    BalasHapus
  2. sepertinya menarik.
    pas ada pentas Potehi di Museum Nasional Jakarta, pas saya gak bisa hadir.
    mungkin lain waktu.



    salam kenal sebelumnya.


    Adie Riyanto
    http://kisahhantulaut.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. @dhani: iyo, gelap itu ruangannya.. isonya ketinggian juga :D
    @mas jeri: meh, situ umur berapa??
    @mas Adie Riyanto: yap menarik mas, sekali2 harus nonton emang, oke salam kenal, selamat berteman :)
    @mas tekno: makasi masbro!

    BalasHapus