Yap, pagi itu, Jumat 28 Mei 2010, saya dan sahabat saya, Sulih, sengaja berangkat ke Magelang dengan tujuan Candi Mendut dan Candi Borobudur untuk menyaksikan rangkaian Waisak. Sebelumnya saya ngga pernah terpikir untuk menyaksikan hari suci umat Buddha tersebut. Apalagi tanggal merah ini malah saya berencana dolan ke Gunung Kidul. Tapi beberapa minggu yang lalu, Pak Jayin, seorang teknisi plus fotografer spesialis pernikahan di kantor tempat saya magang di Semarang, bercerita tentang Borobudur ketika Waisak. Katanya, Candi Buddha terbesar itu akan tampak berbeda dari biasanya, shining, akibat dominasi warna kuning altar tempat dilakukannya prosesi Waisak. Yap, saya emang terlalu gampang untuk kepengen. Hahaa... Apalagi saya lihat di kalender bahwa Waisak sudah di depan mata. Wo!!
Lalu, beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan Mas Niko, seorang kolektor kamera Rangefinder di Semarang. Saya sempat menyeletuk tentang Waisak di Borobudur. Eeeh, lah kok ternyata dengan menggebu-gebu Mas Niko ’berbaik hati’ menceritakan pengalamannya menyaksikan Waisak dua tahun lalu di Borobudur.
”Kita bantuin masang lampion, dan ikutan meditasi juga hehe! Seru banget pokoknya... Seharian di Borobudur, ngga kerasa capek... ” ujarnya waktu itu.
Dan berbekal ilmu dari kedua orang itu, maka saya mengajak Sulih, yang sebenarnya lagi sibuk koas di Kulonprogo. Tapi dia dengan senang hati menemani saya ke Magelang sedari subuh sampai hampir Maghrib. Huaaa... love youuu Mbak Uliii...
Hari itu, beberapa ruas jalan menuju Kecamatan Mungkid, ditutup untuk kendaraan roda empat. Untungnya kami berdua naik motor, dan dipersilahkan masuk oleh Pak Polisi yang sedang berjaga. Tidak seperti tahun lalu, Detik Suci Waisak 2554 ini berlangsung pagi sekali, pukul 06.07.03 WIB tepatnya. Dan kami berdua baru sampai di Candi Mendut sekitar pukul tujuh. Sepertinya prosesi Detik Suci baru berakhir. Hehe, ngga masalah sih... masih ada beberapa acara yang akan berlangsung di tempat, seperti pembacaan parita dan sebagainya...
Komposisinya adalah seperti ini, 80% umat Budha, 15% fotografer, 5% wisatawan asing dan lokal seperti saya. Yap, 15% fotografer, tersebar dimana-mana. Memanggul tas berisi tripod, lensa yang besarnya melebihi lengannya sendiri, sampai ada yang berkalung dua kamera pada satu leher! Wiihh, pemandangan yang bikin saya ngiler. Betapa banyaknya orang kaya di Indonesia, ujar Sulih waktu itu... Haha...
Masalahnya sebenarnya tidak terletak pada seberapa banyaknya orang-orang berkamera dahsyat di sini, tapi saya dan Sulih terganggu dengan beberapa orang yang dengan tidak sungkan memotret umat yang sedang berdoa tepat di bawah hidungnya. Wahh!! Ajaib!! Kemana perginya toleransi antar umat beragama yang selalu dikumandangkan saat upacara Bendera hari Senin?? Bagaimana rasanya jika Anda sedang beribadah, dan tiba-tiba sebuah lensa kamera mengintip wajah Anda dengan jarak sebegitu dekatnya?? Ngga sopan, pendeknya.
Walaupun pada akhirnya gambar yang dihasilkan akan begitu dahsyat, sebuah foto yang dapat berbicara, tapi saya berpikir, orang awam pun ngga akan respek lagi ketika tahu bagaimana cara mendapatkannya. Apakah menu zoom-in tidak cukup membantu? Saking gelinya, saya jadi lebih suka motretin mereka daripada mengabadikan prosesi di Mendut. Yah, walaupun saya sudah lama ngga ikut upacara Bendera, saya bersyukur berada dalam lingkungan keluarga multikultural. Saya terbiasa dengan perbedaan, dan yang paling penting saya belajar menghargai dan menghormati perbedaan itu.
Untungnya kejadian aneh di Candi Mendut ini, tidak perlu kami saksikan lagi di Borobudur, sehingga tidak menguras tenaga kami lagi untuk ngomel-ngomel melihat tingkah laku orang-orang ngga sopan itu. Pihak panitia penyelenggara dengan bijak dan baik hati memberikan izin dan waktu untuk rekan fotografer, pers dan pengunjung lainnya untuk mengambil gambar di altar utama, dengan konsekuensi, tidak boleh memotret pada saat Puja Bakti berlangsung. Saya suka aturan ini. Hoho...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar