“Bagaimana bisa harga kain satu juta
diminta dua ratus? Padahal ya, begini ini kami membuatnya.” Ngana Ana
memasukkan kedua tangannya ke dalam baskom berisi cairan berwarna gelap.
Sesekali perempuan paruh baya itu mengaduk-aduk menggunakan batang kayu, sembari
tetap berceloteh santai.
“Ibu marah tidak kalau ada yang menawar
seperti itu?” tanya saya yang berdiri di balik punggungnya.
“Tidak… tidak marah. Kan mereka tidak
tahu. Saya bilang, kalau harga dua ratus ada kain lain, tapi dari benang toko
yang warna-warni, bukan benang pintal ini. Ya… biasanya tamu dari kota yang
seperti itu,” sambungnya tanpa menjelaskan lebih detil kota mana yang dimaksud.
Usai memasukkan gulungan benang terakhir, dia melangkah keluar meninggalkan
gudang kecil berdinding seng yang sangat panas dan pengap. Saya mengikutinya
seperti anak bebek sambil tak henti mengibaskan tangan karena gerah.
Halaman rumah Ngana Ana sebetulnya
rindang. Ada beberapa nyiur kelapa dan pohon-pohon besar di sekitar. Suara
gemericik air sungai juga terdengar menyegarkan, karena tak jauh dari sana
terdapat sebuah bendungan. Meskipun demikian, tetap saja matahari menyengat
tanpa ampun, terlebih saat memasuki musim kering seperti ini di Waingapu.
Ngana Ana mencuci kedua tangan sekenanya
saja. Air tinta tadi dibiarkan membekas di kulitnya meninggalkan warna biru
dongker. “Tangan saya tidak pernah bersih. Belum sempat luntur yang ini, sudah
harus mengerjakan warna lagi,” ujarnya sembari terkekeh memamerkan deretan gigi
berwarna oranye khas penikmat sirih pinang.
Kami lantas berjalan beriringan menuju
teras depan, tempat di mana alat pintal dan alat tenun tradisional diletakkan.
Kawan saya, Rambu Ana, sedang serius mencoba mengoperasikan keduanya. Meskipun
lahir dan besar di Waingapu, namun gadis yang berprofesi sebagai polisi hutan
itu mengaku tak terlalu mahir menenun.
“Bisa sih, tapi yang kecil-kecil saja,
perlu kesabaran untuk membuat hinggi yang lebar,” kata Rambu Ana. Dia
pula yang mengantar dan mengenalkan saya pada Ngana Ana, si peramu warna biru.
Beberapa gulungan benang warna biru dan merah
Mengapa biru? Menurut Rambu Ana, tidak
terlalu banyak penenun yang bisa membuat warna biru alami. Di tempat
tinggalnya, Kampung Prailiu, kebanyakan hanya membuat benang berwarna merah dan
kuning. Bila membutuhkan benang warna biru untuk pesanan kain tenun, maka dia
akan berkendara 15 menit ke Lambanapu untuk bertemu Ngana Ana.
Kain tenun Sumba sebetulnya berfungsi
sebagai satu set pakaian tradisional. Ada tiara untuk ikat kepala, hinggi
kalambung sebagai sarung di pinggang, dan hinggi nduku yang
diselempangkan di bahu. Biasanya dikenakan saat acara-acara adat. Karena bernilai
ekonomi tinggi dan memiliki makna spiritual, hinggi juga digunakan
sebagai mahar pernikahan dan kafan jenazah saat terjadi kematian.
Seperti
yang pernah diceritakan Rambu Ana tentang proses pemakaman ayahnya, yaitu Raja
Tamu Umbu Ndjaka. Almarhum adalah raja terakhir di Kampung Prailiu yang
meninggal tahun 2008 namun baru dikubur tahun berikutnya. Selama jenjang waktu
tersebut, jenazah disemayamkan di ruang keluarga dan tak henti didoakan setiap
hari. Tubuh Sang Raja diselimuti berlapis-lapis hinggi dan
dibalur berbagai ramuan dari kapur dan tembakau agar kondisinya tetap terjaga
hingga tiba saat dikuburkan.
Kubur batu seberat 40 ton tempat Raja Tamu Umbu Ndjaka dimakamkan
“Di dalam kubur Ayah, terdapat sekitar 110
kain tenun persembahan dari warga dan kerabat. Mereka memohon agar kain-kain
itu ikut dikubur bersama Raja sebagai bentuk penghormatan terakhir,” ujar Rambu
Ana.
"Bayangkan kalau kain-kain itu
dijadikan rupiah, lumayan banyak juga kan, hahaha…,” kelakarnya. Meskipun
berasal dari keluarga kerajaan, namun gadis itu memang doyan bercanda dan
bergaul dengan siapapun.
Beberapa kali berkunjung ke Waingapu, saya
selalu menyempatkan untuk bertandang ke rumah Rambu Ana. Sekedar menanyakan
kabar, atau berbagi cerita-cerita seru, termasuk tentang adat-istiadat
kepercayaan Marapu yang dianut oleh masyarakat Sumba. Saat ini memang banyak
warga yang menganut agama tertentu, namun Marapu tak lantas hilang begitu saja
dari kehidupan mereka.
Prailiu
menjadi salah satu kampung raja di Sumba Timur yang sering dikunjungi wisatawan
karena letaknya hanya 10 menit berkendara dari pusat kota Waingapu. Tiap daerah
di Sumba memiliki motif tenun yang khas. Begitu pula di Prailiu. Paduan
warnanya juga tak banyak. Hanya didominasi oleh merah, hitam, kuning, dan biru.
Untuk pewarna merah, penenun menggunakan bahan dari akar mengkudu. Sedangkan
warna biru, berasal dari tanaman nila yang tumbuh subur di pekarangan Ngana
Ana. Ekstrak daun nila ini yang menghasilkan warna biru tua. Tentu saja ada campuran
bahan alam lain, tapi saya tak menanyakan lebih lanjut. Feeling saya
sih, itu sifatnya rahasia.
Daun nila sebagai bahan dasar pewarna biru
Setelah memintal dan mewarnai benang,
proses berikutnya adalah menggambar motif. Canggihnya, leluhur mereka tidak
melewati tahap ini. Hanya berbekal perasaan dan langsung menenun benang-benang
tersebut menyerupai motif yang diinginkan. Satu lembar kain hinggi yang
lebar menjalani proses cukup panjang dan lama, kira-kira 6 bulan sejak
kapas-kapas masuk alat pintal.
Menggambar motif kain tenun
Kalau boleh saya sebut, rumah Ngana Ana
ini bagaikan one stop weaving center. Selain ditumbuhi tanaman untuk
pewarna alami, di sini juga terdapat pohon kapas sebagai bahan dasar benang
pintal. Alat-alat tenun juga tersedia. Lengkap sekali! Mungkin Ngana Ana bisa
mempertimbangkan untuk membuka kursus tenun hinggi dari nol.
Kapas yang sebagai bahan dasar benang
Belum sempat mengusulkan ide itu, suami
Ngana Ana tiba-tiba muncul menghidangkan dua kelapa muda segar baru petik dari
pohon di pekarangan. Tak sopan bila menolak niat baik seseorang. Saya dan Rambu
Ana segera meneguk air kelapa dengan terburu-buru. Sepertinya kami sama-sama
kehausan dipanggang matahari.
Dalam perjalanan pulang kembali ke
Prailiu, Rambu Ana sempat mengutarakan keinginan tulus untuk mengembangkan
kampungnya menjadi sentra budaya di Sumba khususnya Sumba Timur.
“Saya ingin tenun kami banyak dikenal
orang Indonesia dan luar negeri. Tapi pemasaran selalu menjadi kendala. Apalagi
harga tenun juga tidak murah bagi sebagian orang. Regenerasi juga penting. Ilmu
pewarnaan alami harus diturunkan pada yang muda, agar kualitas tenun Prailiu
tetap bertahan.”
Semangat ya, Rambu!
Hinggi berwarna biru putih dengan motif binatang
PS:
Postingan ini diikutsertakan dalam
kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego.
Selain
itu, postingan ini mengawali cerita-cerita saya selama beberapa kali bolak-balik ke
Sumba. Mudah-mudahan rajin menulis lagi yaaa... Amin!