Ada satu hal yang harus saya syukuri di saat tengah hamil seperti ini, bahwa saya masih mempunyai seorang Ibunda, yang biasa saya panggil Mama.
Apa hubungannya?
Dalam kasus saya, banyak sekali hubungannya. Seperti yang pembaca budiman sudah tau (pura-puranya ini blog pembacanya jutaan ya... hehe), bahwa saya menikah dengan seorang lelaki yang memiliki pekerjaan berlokasi beberapa pulau dari Jawa. Karena saya punya tanggung jawab di Surabaya, otomatis untuk sementara ini kami harus menjalani long distance marriage. Hih, mana enaknya? Ngga enak, trust me. Tetapi kadang, pilihan paling jelek pun harus diambil demi rencana-rencana yang lebih indah nantinya.
Ketika saya positif hamil, praktis perhatian orang tua dan mertua pun jadi meningkat beberapa level. Mungkin bukan karena posisi si jabang bayi sebagai cucu pertama kedua belah pihak. Saya sih melihat mereka prihatin dengan keadaan saya yang berbadan dua namun tinggal sendirian di sebuah kontrakan nun jauh di pojokan Surabaya.
Mama jadi sering mengunjungi saya selama berminggu-minggu meninggalkan rumah di Jember. Saya ingin sekali tidak merepotkan beliau yang rambut putihnya sudah dimana-mana itu, tapi apalah daya... Saya lahir dari rahim seorang wanita yang keras kepala in a good way ya. Mama tentu tidak tega meninggalkan saya mual-mual seorang diri atau kerepotan masak karena mendadak saya jadi males nongkrong berlama-lama di dapur. Pada awal kehamilan, saya masih harus mengurus proyek video yang membuat saya harus tahan banting bolak-balik kontrakan ke tengah kota Surabaya, which is cukup jauh.
Saya berjanji setelah proyek selesai, akan kembali ke rumah orang tua di Jember dan hanya pergi ke Surabaya saat kontrol dokter saja. Bagaimana pun kontrakan tidak bisa ditinggal begitu saja dalam keadaan Surabaya sedang rajin-rajinnya diguyur hujan. Banjir, bocor dan halaman yang penuh ilalang liar menjadi momok bagi saya saat harus meninggalkan kontrakan berminggu-minggu.
Sebenarnya Mama tidak keberatan berlama-lama di Surabaya dan membantu saya selama hamil. Apalagi Mama saya senang plesir dan sering bosan dengan rutinitas di rumah Jember yang begitu-begitu saja. Ditambah adik lelaki Mama yang berdomisili di Surabaya sedang menderita stroke. Kerap kali, saat Mama datang dari Jember, beliau membawa banyak bahan makanan untuk stok Om saya itu mengingat istri Om saya tidak terlalu bisa memasak. Saat saya bilang 'membawa banyak bahan makanan', itu benar-benar buanyak dan berat. Padahal sering Mama saya hanya seorang diri berangkat dari Jember ke Surabaya menggunakan kereta dengan gembolan super berat. Saya hanya bisa mengomel karena tidak tega Mama menguras tenaga seperti itu. Tapi Mama saya lagi-lagi bersikap cuek dan santai. Adalah kegembiraan tersendiri jika Mama bisa bagi-bagi lauk dan membuatkan berbagai masakan untuk adiknya yang tengah sakit keras.
"Mama ini ngga punya apa-apa, jadi cuman bisa masakin Om. Di Surabaya apa-apa mahal, ikan jelek-jelek, mending belanja di Jember terus dibawa ke sini, " ujarnya ketika saya meminta untuk sekali-kali hanya membawa dompet saja saat bertandang ke Surabaya.
Saat memasuki trimester kedua, ternyata istri kakak saya positif hamil anak pertama juga. Kebetulan kakak saya dan istrinya masih tinggal bersama Mama dan Ayah di rumah Jember. Jadilah saya semakin ngga bisa egois untuk membiarkan Mama berlama-lama di rumah Surabaya. Sebagai orang tua, Mama harus bersikap adil memberikan perhatian untuk anak-anaknya yang sama-sama tengah mengandung. Pada suatu makan malam di rumah Jember, Ayah saya berangan-angan agar saya kembali ke rumah mereka saja.
"Kasian Mama bolak-balik," ujar Ayah.
Salah kalau Ayah mengira saya tidak memikirkan semua ini. Pada akhirnya memang saya memutuskan untuk melahirkan di Jember. Mama rupanya agak bersedih karena frekuensi mengunjungi adiknya yang sakit pun jadi berkurang sejak saya meninggalkan Surabaya.
8 April 2014 kemarin lusa, Mama berulang tahun yang ke-53. Saya berharap bisa memberikan lebih dari sekedar ucapan dan doa. Tapi saya tak pernah tahu apa yang harus saya berikan. Dibelanjakan beberapa potong baju baru pun tidak akan melegakan. Saya hanya merasa berhutang terlalu banyak pada beliau, terutama saat masa kehamilan ini. Sungguh ingin berterima kasih melebihi apapun.
"Saat hamil dan menyusui memang paling lebih enak kalau dekat dengan ibu sendiri, terutama kalau baru pertama kali melahirkan," kata seorang bidan di rumah sakit tempat saya mengikuti senam hamil.
Saya harus mengamini pernyataan tersebut. Bukan berarti dekat dengan mertua tidak enak lho... Tapi ada bonding yang tidak terganti yang muncul selama Mama membantu saya melewati masa kehamilan. Makanya saya bersyukur luar biasa masih punya seorang ibu (dan mau direpotin putrinya).
Semoga dengan melahirkan cucu yang sehat untuk Mama, bisa menjadi hadiah yang berarti. []