Badan saya seketika menggigil kedinginan ketika Kakak melajukan motor menuju rumah seusai menjemput saya di stasiun. Kala itu hampir pukul 3 pagi, bak sedang berada di puncak gunung, gigi saya bergemeletuk berulang-ulang. Oksigen yang terhirup terasa basah. Lemak tubuh yang tertutup cardigan abu-abu itu ternyata belum cukup mampu untuk menghangatkan badan. Shock cuaca. Mengeluh pun tidak ada gunanya.
Dan Alun-alun kota kebanggaan Jember pun mulai terlihat. Lampu benderang. Dan kabut terlihat melayang-layang di tengah lapangan. Sepi. Tentu saja, ini kan dini hari. Tapi saya jamin, dalam waktu lima jam ke depan, tempat ini akan berubah menjadi lautan manusia. Kursi-kursi lipat berlabel invitation-only yang konon berjumlah 2800 itu sudah tertata dengan rapi di depan kantor Pemerintah Daerah. Siang nanti, pagelaran paling megah seantero Jember akan digelar. Karena itu pula, saya memutuskan untuk pulang. Pulang semata untuk menonton Jember Fashion Carnival (JFC). Oh, ini sungguh di luar kebiasaan.
Masih terekam dengan jelas, saya hanya pernah menonton JFC pada episode perdana. Setelah itu saya kapok. Panas ampun-ampunan. Ramai ngga ketulungan. Penonton susah diatur. Cukuplah saya menghabiskan separuh hari dengan muka cemberut dan kening berkerut. Maka tahun-tahun berikutnya saya malas menonton perhelatan akbar ini. Hanya ibu saya yang masih setia menjadi penonton. Dari 10 kali digelar sampai tahun ini, beliau dengan suara yang terdengar menyesal, memberi tahu saya, "Mamah absen ngga liat dua kali!"
Social media dan milislah yang membawa minat saya untuk mencoba kembali menikmati JFC. Begitu banyak orang yang berkeinginan menyaksikan langsung adu kreativitas kostum di ajang ini. Bahkan teman saya, si Andre, kabarnya menerima tamu sesama CouchSurfer yang spesial datang jauh-jauh untuk menonton karnaval besar-besaran ini. Milis pun menyebutkan bahwa hotel-hotel di Jember sudah fully booked. Bahkan teman saya, Maya Wuysang, sempat mendaftarkan diri menjadi peserta ketika berkunjung ke Jember beberapa bulan.
Okay. Sepertinya saya harus ikut serta meramaikan JFC kali ini dan merelakan ajakanmelancong pecinan di Pulau Madura. Berada di bawah panas matahari sebentar, sepertinya bukan masalah yang harus dijadikan alasan. Bukankah kulit saya memang sudah gosong? Apalagi ini di kampung halaman sendiri.
Dan setelah tertidur cukup pulas dibalik belaian selimut tebal, sekitar pukul 9 pagi berangkatlah saya bersama si Ocik menuju alun-alun kota. Masih relatif sepi sih. Kursi-kursi yang semalam saya lihat juga masih kosong. Hanya tampak panitia berlalu-lalang, dan beberapa penonton non-invitation yang sudah berpiknik di trotoar alun-alun. Yap, mereka benar-benar menggelar tikar. Wajar sih, kalau jam segini sudah pada ngetem tempat terdepan, karena pasti, sekali lagi, pasti, tengah hari nanti ribuan manusia akan berjubel di sini.
Saya dan Ocik pun berniat sama. Mencari tempat terbaik untuk menunggu parade dilangsungkan. Tapi halaman belakang kantor Pemda lebih menggoda kami. Di sana sekitar 800 talent sedang berdandan bersiap mengenakan kostum terbaik mereka. Ratusan fotografer pun tampak tidak mau kalah berseliweran. Sungguh saya dan Ocik pingin masuk. Kami hanya dipisahkan oleh selapis pagar besi saja. Tapi entry password itu bernama: ID Card.
Ya, ini termasuk tips untuk kalian, media, fotografer, reporter atau apalah yang ingin mendokumentasikan JFC, sebaiknya memesan dulu ID Card atau Invitation karena memang keduanya bisa dengan mudah didapatkan via online sebulan sebelum berlangsungnya karnaval. Dan tentu saja saya terlambat mengetahui info yang supermudah ini. Haha!!
Sampai akhirnya saya melihat wajah yang tak asing, tampak kusut khas bangun tidur anak kosan, Andrey Gromico, memakai kaos putih bersablonkan JFC, melintas di depan saya. Oho! Fotografer lulusan Antara inilah yang kemudian membantu saya untuk turut masuk ke halaman belakang kantor Pemda.
Oh! Dan saya tidak pernah berada sedekat ini dengan ratusan peserta berkostum meriah ini. Tahun 2011 adalah tahun yang spesial karena event yang digagas oleh Dynand Fariz ini memasuki masa satu dekade. Maka kostum pasukan yang ditampilkan adalah defile terbaik pada tiap tahunnya. Dan 10 defile tersebut adalah Royal Kingdom, Punk, India, Bali, Tsunami, Athena, Borneo, Roots, Animal Planet dan Butterfly. Ke-random-an ini yang bikin saya berdecak kagum. Terutama melihat kreativitas peserta yang seakan tidak ada habisnya itu. Tiap kostum memang didesain sendiri oleh peserta, dan hanya disesuaikan oleh defile yang ingin dia ikuti.
Informasi yang saya dapat dari seorang teman reporter yaitu Arman Dhani Bustomi, biaya terbesar pembuatan kostum ini jatuh pada Garuda Wisnu Kencana dari defile Bali. Dua puluh juta rupiah, men! JFC kini memang sudah berkembang menjadi event kelas dunia. Peserta tidak melulu berasal dari Jember. Ada model-model L-Men yang tampak waw sekali dibalut kostum Athena. Bahkan seorang petinggi ESMOD, Patrice de Silles turut memeriahkan defile Punk. Tidak pernah rasanya seumur-umur hidup di Jember, saya melihat begitu banyak wisatawan mancanegara seliweran membawa kamera di alun-alun kota. Mobil-mobil televisi nasional terparkir di luar gedung. Uh, baru deh saya sadar, bahwa JFC memang benar-benar menjadi magnet besar bagi pariwisata kota kecil ini. Katrok bener saya ini.
Well, sayangnya, saya tidak bisa melihat bagaimana parade dan koreografi para peserta. Karena, tentu saja, seusai keluar dari backstage, maka saya dan Ocik sudah tidak kebagian tempat terdepan. Dimana-mana orang. Orang dimana-mana.
Namun, ada beberapa cerita klise yang saya dapatkan ketika parade berlangsung. Jadi peserta JFC ini akan 'dikeluarkan dari kandang' setelah menghibur para undangan khusus. Mereka akan melintasi alun-alun kota hingga GOR PKPSO yang jaraknya 3,6 km. Nah, sesungguhnya di sinilah ujian para peserta JFC. Saking ramai dan sesaknya pengunjung, bahkan parade pun terasa susah bergerak. Akses jalan kurang lebar, karena lagi-lagi, penonton kurang tertib dan tidak mengindahkan aturan. Semua penonton merangsek ingin melihat siapa yang melintas, kostum seperti apa, dan uh oh, hape qwerty melayang-layang di udara; foto dulu dong, mbak, mas! Jepret! Jepret! Jepret! Dan ini adalah kisah yang berulang dari tahun ke tahun.
Uhm, mungkin lain kali pemerintah daerah bisa menyedikan truk trailer dengan bak terbuka seperti parade di Brazil ya, demi kenyamanan peserta dan penonton.
:)
So, here's the video that i've made. Sorry kepanjangan. Saya lagi happy pas bikin, jadi keterusan gitu. Sorry juga warna kurang kontras, saya memang malas mengedit (makasi sarannya Deri, Mas Jeri dan Giri, nama kalian sungguhlah mirip). Dan terima kasih Octrio Joky atas tumpangannya, terima kasih Andrey Gromico plus Arman Dhani Bustomi atas pinjaman foto untuk melengkapi video ini. Ah, yaudah deh, lagi-lagi saya kebanyakan sorry dan terima kasih. Just enjoy! :)