Jumat, 29 April 2011
Jumat, 22 April 2011
First
Minggu, 17 April 2011
The Hakka and The Mountain Songs
“Kenapa kamu tertarik mengikuti kegiatan ini?” seorang wanita cantik yang duduk di samping saya bertanya tak lama setelah saya berkenalan dengan beliau. Kegiatan yang dimaksud adalah Jejak Petjinan. Sebuah klub heritage yang tiap dua bulan sekali memiliki agenda melancong ke berbagai sudut Pecinan di Surabaya dan mempelajari sejarah yang tertinggal di dalamnya. Siang tadi kami mengunjungi tempat perkumpulan suku Hakka/ Hwie Tiauw Ka di daerah Slompretan.
“Mmm... Karena ibu saya seorang Tionghoa, sedikit banyak ingin tahu tentang budaya leluhur,” ujar saya sambil senyam-senyum.
“Oh ya? Tinggal di mana? Marga kamu apa?” Wanita bernama Zhu Yu Ping ini kemudian berkata dengan semangat menggunakan bahasa asing, yang saya yakin adalah bahasa Hakka, kepada seorang wanita tua berambut cepak di sampingnya. Kalau saya terjemahkan kira-kira seperti ini, “Eh, mamahnya Mbak ini Cina lho ternyata…”
Si Ibu tua manggut-manggut memandangi wajah saya yang ngga Cina sama sekali itu. Lalu saya menuliskan marga keluarga ibu saya dalam lembaran kertas. Saya takut salah ucap kalau mengatakannya langsung, secara lidah ini lebih terbiasa mencecap logat Jawa turunan dari keluarga Bapak.
“Dulu tinggal di Kapasan.Tapi sekarang di Jember bersama Bapak, tapi sampai sekarang tante saya masih Kapasan," jawab saya lagi.
“Wah! Bisa jadi kamu turunan orang Hakka juga. Jangan-jangan kita bersaudara!”
Saya tertawa renyah mendengar seruan wanita yang sejak lahir hingga tamat SMP tinggal di Meizhou, Provinsi Guangdong ini. Tidak tahu apakah ada leluhur saya orang Hakka atau tidak. Lah wong saya juga baru tahu marga keluarga saya! Ini juga gara-gara dipaksa si Zhuang Wubin, buat ngubek-ngubek cerita tentang Ibu saya untuk dijadikan sebuah proyek dokumenter awal 2011 lalu. Again, I thank to you, Wubin. Kalau ngga ngerjain proyek itu, saya bakal heng-hong dan malu abis untuk kesekian kali ketika ditanya tentang marga keluarga sendiri oleh wanita yang berprofesi sebagai guru bahasa Hakka di perkumpulan Hwie Tiauw Ka ini. (Yes, you can read about My Mommy here)
“Tapi saya tidak punya nama Cina, Bu…,” sambung saya.
“Saya pun belum memiliki nama Indonesia sejak pindah kemari.” sahutnya, tertawa.
Kata “Hakka” berarti “Tamu”. Ini disebabkan karena Hakka merupakan sekumpulan orang-orang pelarian dari China bagian Utara yang menyebar hingga ke daerah Selatan. Dulunya, kumpulan Hakka ini dikenal sebagai petinggi kerajaan yang berotak cemerlang. Jika tipikal orang Tiongkok yang terkenal ulet, maka suku Hakka konon, dua kali lipat lebih ulet! Lebih rajin dalam bidang pendidikan. Lebih mudah menerima pembaharuan. Para orang tua rela menjual apa saja agar anak mereka (terutama laki-laki) bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut cerita yang saya dengar, 70-80% tokoh dunia yang berkebangsaan Cina berasal dari suku Hakka, sebut saja salah satunya adalah Dr. Sun Yat Sen.
Pada pelariannya, suku Hakka, yang juga dikenal sebagai orang Khek ini, banyak tinggal di daerah pegunungan, hingga muncul pepatah “di mana ada gunung, di situ ada orang Hakka”. Namun, sekarang ini sangat susah mencari orang yang murni berdarah Hakka. Kebanyakan sudah terjadi pernikahan antar suku yang berbeda. Walupun demikian, ada beberapa hal yang menjadi pemersatu suku Hakka, yaitu bahasa dan budaya. Suku Hakka memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa Mandarin. Bahasa inilah yang menjadi penanda mereka walaupun sedang berada di tempat asing.
“Kalau sedang berada di luar negeri, lalu tiba-tiba di jalan mendengar orang berbicara bahasa Hakka, walaupun kita tidak mengenalnya, ada perasaan lega… Seakan bertemu dengan keluarga sendiri, padahal sedang yang jauh dari rumah,” ujar Ibu Zhu Yu Ping dengan bahasa Indonesia yang agak terbata, mungkin pengaruh keseharian terbiasa menggunakan bahasa Hakka.
Karena tinggal di daerah pegununangan ini juga, orang Hakka mendapatkan stok sayuran yang melimpah. Dan kebanyakan mereka senang mengolahnya menjadi sayur asin, baik yang basah maupun kering, agar lebih tahan lama. Saya jadi ingat, ibu saya beberapa kali membawakan tante saya oleh-oleh berupa sayur asin ketika ke Surabaya. Mungkin memang dalam tubuh saya ada sedikit darah-darah Hakka kali ya! Haha!
Ada satu lagi budaya yang unik dari suku Hakka yaitu folk music. Mereka menyebutnya “San-Ko” atau “Nyanyian Gunung”. Konon, nyanyian yang semacam kidung ini dulunya dilantunkan bersahutan dari gunung satu ke gunung yang lain. Waw! Amazing! Saya tidak tahu bagaimana praktek sesungguhnya di masa lampau, tapi budaya ini hingga sekarang masih dipertahankan di Cina sana, dengan cara menggelar beberapa kontes Hakka Mountain Songs. Tentu saja tidak dinyanyikan dari gunung ke gunung, melainkan dibawakan oleh dua orang penyanyi yang bersahutan seperti sedang bermain pantun.
Perkumpulan Hwie Tiauw Ka yang pada 2011 ini berusia 191 tahun bukanlah tempat sembahyang umat tertentu. Mulanya bangunan ini adalah rumah dari seorang yang akrab dipanggil Paman Peng. Beliau merelakan kediamannya digunakan sebagai tempat berteduh orang-orang yang mengunjungi makam keluarga. Dahulu, daerah Slompretan ini dikenal sebagai Pasar Bong, di mana Bong berarti “tanah perkuburan".
Rumah Paman Peng ini kemudian direnovasi secara gotong-royong bertahun-tahun untuk dijadikan sebagai satu tempat perkumpulan untuk menghormati para leluhur Hakka yang bermukim di Surabaya. Seperti banyak diketahui bahwa daerah Utara ini adalah awal mula tempat orang Tionghoa membuka kehidupan di Surabaya, yaitu dengan berdagang, membuka toko dan sebagainya. Ini sebagai imbas dari keberadaan Kalimas, di mana sarana transportasi sungai adalah akses utama perdagangan dan perekonomian zaman dulu. Tak heran jika daerah ini dikenal sebagai Pabean, yang berarti “bea cukai”, di mana terdapat perputaran barang yang keluar dan masuk kota Surabaya melalui sungai tersebut. Dan kebanyakan orang Hakka maupun bukan, memang tinggal di daerah yang akhirnya akrab dikenal sebagai Pecinan Surabaya ini.
Sekarang, tempat perkumpulan Hakka sedang dikembangkan oleh para pengurusnya untuk dijadikan salah satu destinasi wisata heritage di Surabaya. Dengan harapan, turis domestik dan manca negara bisa berkunjung dan mengenal tentang budaya Hakka dari tempat ini. Kalau saya sendiri sih, pengen denger The Mountain Songs itu seperti apa, karena dari beberapa sumber yang saya baca, ada irama-irama khas yang dilantunkan sebagai penanda jauhnya jarak yang ditempuh sebuah nada dari gunung satu untuk didengar oleh para Hakka di gunung lainnya. Wih!
Sabtu, 16 April 2011
2008
Rabu, 13 April 2011
New Baby Born
New Baby Born from Dwi Putri on Vimeo.
Sabtu, 09 April 2011
Me, iMovie and Baluran
Kamis, 07 April 2011
Surabaya Chinatown on Travelounge Magz
Yeay! Finally, file pdf Travelounge edisi Imlek muncul juga! Berarti sudah waktunya saya pamer karena ada tulisan saya tentang Pecinan Surabaya di dalamnya hehehe… Saya bukan mau sombong lho ya, tapi sedikit pamer, buat nyenengin diri sendiri saja! Hehehe! Ngga tau juga bedanya gimana… Ah, sudahlah pokoknya saya hepi aja… Jadi mohon maaf kalau terganggu. Dan seperti biasa, tulisan ini dibuat format combo bersama chief editor Hifatlobrain Travel Institute, yang kegiatan sehari-harinya adalah misuh-misuh (well, misuhin saya lebih tepatnya).
Bulan Januari-Maret 2011 adalah masa-masa dimana saya merasa sangat “mabuk pecinan”. Beberapa kali saya keluar masuk klenteng, blusukan ke kampung Kungfu, ikutan klub Jejak Petjinan, ngerjain assignment Travelounge edisi Imlek, ikutan workshop fotografi dokumenter bertema Chinese in Surabaya, nulis tentang kegiatan engkong-engkong di rumah perkumpulan marga Liem, ngintip ramenya Pasar Atom H-1 Imlek, hingga berakhir pada nonton arak-arakan Dewi Laut yang keren abisss itu! Yeah! Alhamdulillah! Walaupun hangover, tapi semuanya menyenangkan!
Artikel di Travelongue ini memang didedikasikan untuk para wisatawan yang berniat keliling Pecinan selama beberapa hari. Kita membuat semacam guidance around Chinatown gitu. Tapi, sesungguhnya Pecinan Surabaya itu maha luas, dengan berbagai keunikan budaya yang masih banyak belum saya ketahui juga. Pecinan tentu saja ngga melulu tentang klenteng. So, artikel ini pun berusaha kami tulis sebaik dan seragam mungkin. Dan yang menyenangkan (buat saya) adalah, cukup banyak foto saya yang lolos kurasi buat dipajang sama editor fotografi Travelounge… Acik! Acik! I love you, Kang Rullyyy! Sounds so murahan sekali yah?! Oke sudahlah, saya memang kampungan abis! Kalau mau baca online bisa klik tautan berikut, artikel Pecinan itu ada di halaman 51.
Happy reading! Dan semoga saya punya oleh-oleh yang bisa dibagi, karena tanggal 17 April ntar saya mau melemaskan kaki di Pecinan lagi. Yang ini edisi spooky, men… Karena kemungkinan saya akan mengunjungi Makam Cina atau Rumah Abu. Yes! Semoga ngga ketemu vampire kayak yang suka muncul di filmnya BoBo Ho...
Oh, tomorrow is Friday ya? Selamat merayakan Thanks God It’s Friday… Semoga weekend kalian menyenangkan. Kalau ngga ada rencana ngapa-ngapain silahkan mencoba jalan-jalan ke Pecinan di kota masing-masing.
Ciao!
Rabu, 06 April 2011
Julie & Julia
Well… saya ngga bisa mereview film sebagus yang dilakukan oleh dua teman saya, Mas Iman dan Mas Yandri. Tapi saya pengen banget menulis impresi saya setelah nonton film based on true story ini semalem. Jadi yah, maaf kalo jadinya rada spoiler. Semoga tidak akan mengurangi kenikmatan jika kalian menontonnya langsung.
Awalnya, saya sudah hampir menekan menu 'stop' ketika beberapa menit pertama saya tidak menemukan sesuatu yang menarik untuk ditonton. Scene dibuka oleh percakapan antara Meryl Streep yang berperan sebagai Julia Child dengan suaminya Paul Child. Terus terang saya agak terganggu dengan ‘logat aneh’ si Julia ini. Beruntung, beberapa menit kemudian, muncul scene lain di mana Amy Adams, sebagai Julie Powell, tampak kerja bakti bersama suaminya Eric Powell dalam rangka pindah ke apartemen baru. Oke, saya tidak jadi menekan tombol ‘stop’ karena sepertinya film ini tidak melulu diisi dengan logat Julia Child yang naik-turun itu.
Julie and Julia dimainkan dalam setting waktu yang berbeda. Julia Child pada tahun 1950an, sedangkan Julie Powell hidup pada tahun 2000an. Yang menjadi benang merah di sini adalah they deeply in love with cooking. Yes, simply, they have a same passion.
Julie Powell adalah seorang ‘almost writer’ yang dulunya pernah menulis novel namun tidak dia selesaikan. Well, karena ‘hampir selesai’ itulah dia ngga bisa disebut sebagai ‘penulis’ sesungguhnya. Dia merasa bahwa semua yang dilakukan ngga pernah beres dan selesai dengan baik. Ditambah dia juga ngga enjoy-enjoy banget menjalani pekerjaannya sebagai operator layanan call-center.
Kenikmatan yang lain baru benar-benar dia rasakan ketika memasuki dapur kecilnya di apartemen tempat ia tinggal bersama sang suami. Waw, tangan-tangannya lincah mencacah ini itu. Dan makanan yang ia buat, benar-benar ‘terlihat’ enak di mata saya. Jangan nonton film ini dalam keadaan perut kosong, sodara. Anehnya, sebagai seorang yang pintar memasak dia tidak pernah makan telur seumur hidupnya! Lucu juga pas dia harus merebus telur, dan terpaksa memakannya. Agak jijik ketika memasukkan putih telur dalam mulutnya, lalu “Yum!” she said. Haha!
Nah, karena agak-agak desperate dengan kehidupannya yang gitu-gitu aja, dia mulai menantang dirinya sendiri, untuk for once in her life, benar-benar menyelesaikan sesuatu. So, she is starting to write a blog. A cooking blog. Dengan tantangan berupa, 365 hari memasak 524 resep sesuai buku yang pernah ditulis oleh Julia Child dengan judul Mastering The Art of Cooking French. Noh! Judulnya aja udah sedap! Karena ini based on true story, maka blog The Julie/Julia Project ini beneran ada lho... Coba saja klink tautan ini.
Awalnya beberapa orang sempat mencibir si Julie. Terutama ibuny. Tapi atas nama gengsi, dan kecintaannya terhadap Julia Child serta dunia masak-memasak, si Julie keukeuh untuk menyelesaikan tantangan tidak mudah ini.
Sementara itu, pada sisi kehidupan Julia Child, penonton akan melihat bagaimana passion memasak, yang secara tidak sengaja ia temukan ketika pindah ke Perancis, membawanya hingga menjadi seorang penulis buku Mastering The Art of Cooking French itu. Kenapa saya bilang ngga sengaja, karena awalnya dia pun kebingungan mau ngapain di Perancis, selain mengikuti tugas suami. So dia mulai mengikuti kelas-kelas kursus, hingga akhirnya dia nempel dan betah pada satu kelas memasak untuk professional chef, di mana dia adalah satu-satunya peserta wanita non-profesional chef, yang kesulitan berbahasa Perancis tentu saja.
Tapi jangan kira dia dengan gampang menerbitkan buku begitu saja. Hampir desperate karena masalah dengan publisher buku yang menyukai karyanya, tapi tidak ingin menerbitkan buku itu karena masalah duit tentu saja. Padahal Julia Child dan partner menulisnya harus terbang jauh ke luar Benua Eropa untuk bertemu muka dengan para publisher ini. Well, dengan baik hati Paul Child, sang suami, berkata, “Someone is going to publish your book. Someone is going to read your book, and realize what you've done. Because your book is amazing. Your book is a work of genius. Your book is going to change the world.” Makjleb! Cewe mana sekarang yang ngga pingin punya pasangan hidup dengan pikiran seperti itu. Hehehe :)
“You’re the butter to my bread…” adalah kiasan yang diucapkan oleh Paul Child pada Julia Child sebagai pengganti I love you. Haha! Agak aneh, tapi romantis abisss… Dan kata-kata ini juga pada akhirnya diucapkan oleh Julie Powell untuk suaminya pada eksekusi resep ke 524! Yes! She did it!
Saya merasa film ini bukanlah sekedar film masak-memasak biasa, seperti No Reservation yang dibintangi oleh Catherin Zeta-Jones, which is terlalu banyak drama menurut saya. Baca saja tagline dalam poster film ini: Passion. Ambition. Butter.
Julie and Julia ini semacam membawa pesan terselubung bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan senang hati, pasti akan menghasilkan sesuatu. Oh, apalagi kalau pekerjaan itu memang passion kita! Jatuh bangun pun ngga bakalan bikin kapok! Setiap hari berasa ‘meledak-ledak’ terus! Entah itu untuk kepuasan diri atau berakhir menjadi sebuah manfaat buat orang lain.
Bayangkan saja, pada saat buku masakan Perancis itu terbit, ya mana pernah Julia Child bakal menyangka bahwa sebuah buku yang dia susun dengan susah payah, bakal membuat Julie Powell, yang hidup puluhan tahun berikutnya, menemukan kepercayaan diri dan bisa berteriak sepenuhnya, “yes, I’m a writer!”.
Oh iya, a cooking blog Julie ini pada akhirnya masuk dalam jajaran teratas blog salon. Noh! Betapa cewe ini kegirangan, ketika tulisannya banyak dibaca orang. Apalagi, menurut saya, gaya menulis dan mendiskripsikan makanan memang sangat unik. Dia memperlakukan makanan yang sudah dimasak selayaknya benda yang bisa bernafas.
Yah, namun sayangnya, berhembus kabar bahwa si Julia tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Julie. Tadi saya sempet baca FAQ di IMDB tentang kenapa kok si Julia ngga suka blog Julie. Well ini pernyataan dari Julie Powell menanggapi kabar tersebut, saya copas dari IMDB:
A lot of people have been asking whether it's true that Julia Child wasn't a big fan of Julie Powell, and whether she and I really didn't meet. Both of those things are true - Julia, I think, from what I gather, was less irritated than simply uninterested. Which, when I first found out, was of course devastating. But the thing about Julia, to me, was that she was a real person - a great 6-foot-2 force of nature, with tremendous gifts, nearly limitless energy and generosity, firm opinions, and even a few flaws.
That's what I love about her - she inspired because she was a woman, not a saint. Not to say that her not loving my blog was a flaw. I just mean that the fact that she might not for whatever reason adore me as much as I adore her has absolutely no bearing on what is wonderful about her. Throughout her life, Julia nurtured and encouraged and gave great help to chefs and writers both.
And she changed my life. No matter what she - or anyone else, for that matter - thought of the project. I know why I did what I did, and I am proud that I spent a year writing and cooking in tribute to one the most wonderful women I've ever not met. I have read in several places that Julia was aware of the blog, never read it, but was told that it was full of foul language and therefore she felt that Julie was making a mockery of something Julia holds so dear. That is what I read... does not mean that it is true. Interesting question, though.
Okelah apapun itu masalahnya, saya merekomendasikan film ini untuk segera ditonton. Terutama buat Anda yang hobi galau, bingung, dan ngga jelas dalam menghadapi kemelut hidup ini #eaaaaa… This is such an inspiring movie yang ‘enak’ dan ringan buat ditonton. Yumm!!
Happy watching! Bon Appetit!