Senin, 20 September 2010
Satu Meja Tiga Kepala
Senin, 13 September 2010
Mudik ke Jember, Main ke Papuma
Berkunjung ke Pantai Pasir Putih Malikan saat mudik di Jember, adalah kegiatan rutin yang biasa saya lakukan dalam rangka short escape bersama teman-teman lama. Pantai kebanggaan warga
Papuma bisa dibilang menjadi pantai terfavorit wisatawan di sepanjang wilayah tanjung. Pasirnya putih, lautnya biru, dan terdapat beberapa atol karang di tengah laut, yang bila ombak sedang tidak ganas, pengunjung bisa menyewa perahu untuk menikmati keindahannya dari jarak dekat. Selain itu di sini fasilitas yang tersedia cukup lengkap, seperti penginapan, toilet, tempat parkir, musholla, sampai fasilitas outbond untuk anak-anak. Berbagai pohon seperti nyiur, palem dan pandan laut yang menghijau menjadi hiasan pelengkap di sepanjang bibir pantai ini. Di sini juga terdapat Sitihinggil, yaitu sebuah bukit kecil untuk menikmati pemandangan Papuma dari atas. Dari sisi tersebut, kita juga bisa melihat samar-samar Pulau Nusa Barong, pulau tak berpenghuni yang terletak sekitar 50 mil dari Tanjung Papuma.
Tapi entah kenapa, saya dan teman-teman tidak pernah absen untuk berkunjung ke daerah kampung nelayan. Pantai di sini masih satu saudara dan satu gugusan dengan Papuma. Hanya letaknya lebih ke Selatan. Walaupun pasirnya cokelat gelap, tapi bukit-bukit gersang yang ada di sekitar menjadi daya tarik tersendiri. Paling ngga, buat saya pribadi. :)
Di sini terdapat bukit-bukit karang yang menjadi tempat duduk favorit para pemancing untuk menunggu hasil tangkapannya. Pengunjung di sini memang bukan yang bertipe piknik di bawah pohon sambil menggelar tikar menikmati ikan bakar. Lebih banyak nelayan yang sibuk dengan perahu-perahu mereka, dan juga para pengikut mancing mania. Mungkin karena saya dan teman-teman memang hobi pecicilan, maka melompat dari satu karang raksasa menuju karang lain adalah hal yang paling nikmat untuk dilakukan.
Seperti biasa, di kanan kiri jalan memasuki Ambulu, kami disuguhi pemandangan serba hijau; gundukan bukit, sawah-sawah padi, ladang semangka dan jagung, serta si komoditi primadona kota Jember, Nicotiana tobaccum, yang gosipnya sudah sering bepergian ke luar negeri. Yang tidak biasa adalah keramaian di jalanan itu. Beberapa kali saya melihat pick-up mengangkut puluhan anak kecil. Gerombolan motor yang salip-menyalip dengan mobil kami, seperti sedang kampanye partai.
Mampuslah. Kami baru sadar, bahwa hari ini adalah hari terakhir cuti bersama dalam rangka Lebaran. Papuma pasti kayak pasar kaget. Andre, salah satu teman saya, sempat memberi usu: pindah haluan ke Ijen. Haduh, saya lagi males manjat-manjat, kecuali akses ke Kawah Ijen sudah dilengkapi lift atau minimal eskalator, ya saya mau-mau saja ganti tujuan short escape ke sana. Haheho. :D
Dan benar saja, memasuki pertigaan Watu Ulo, sebuah pantai sebelum memasuki pantai Papuma, terdapat beberapa polisi lalu lintas yang mengatur keluar masuk kendaraan. Padahal hari normal, saya ngga pernah melihat keberadaan polisi-polisi itu, jadi bisa disimpulkan bahwa sedang terjadi exodus di Papuma sana.
Pintu masuk pantai Papuma memang bisa diakses melalui dua jalur. Bisa dari Watu Ulo ini, dengan konsekuensi Anda harus membayar tiket dobel. Bisa juga melewati jalan pintas yang memang sudah disediakan langsung tembus ke loket masuk Papuma. Kalau opsi pertama menawarkan keindahan pantai Watu Ulo, maka opsi kedua juga ngga mau kalah. Anda akan disuguhi deretan hutan pohon jati yang kebetulan sedang dalam rangka meranggas saat kami melewatinya. Mirip kayak jejeran hutan pinus bersalju yang ada di film Winter Sonata :) Oh iya, jika memilih melalui jalur ini, maka Anda hanya akan membayar satu tiket masuk saja, yaitu tiket Papuma, per orang 7500 rupiah
Dari pertigaan itu, kami memutuskan untuk terus lurus ke Selatan menuju kampung nelayan terlebih dahulu. Sampai di lokasi, kami hanya melihat beberapa wisatawan seliweran, seperti yang kami harapkan. Hehe. Namun, sayangnya, laut sedang pasang, beberapa karang yang biasanya bisa kami lewati, sudah tertutup air. Maka beralihlah perhatian kami pada sebuah bukit gersang di pinggir pantai. Di puncak bukit tersebut terlihat sebuah rumah berdiri dengan beberapa bendera merah putih berkibar di halamannya. Yak berangkat menuju TKP!!! Sepertinya tidak terlalu tinggi untuk mencapainya, dan sudah pasti view dari atas pasti bagus sekali.
Namun ketika berada di kaki bukit kami hanya bisa melongo, membaca papan pengumuman yang ada di depan jalan akses menuju puncak. Makam Mbah XXX. Hubungi Pak Rudi jika ingin berziarah. Huaaaa... ngga jadi wes... kalo urusan yang spooky-spooky gini, saya ngga berani. Maka kami memutuskan untuk langsung ciao ke Papuma yang sebenarnya mumpung matahari masih menyengat panas, belum ada tanda-tanda akan turun hujan.
Sekali lagi, ini hari libur Lebaran. Dan kemungkinan sangat besar, saya tidak akan datang ke Papuma lagi pada hari libur. Hahaha... Masyaowoh ramenya itu yang ngga nahan... Penjual cilok, tempura, rujak, bakso pun berjejeran memanfaatkan momen setahun sekali ini. Yang paling repot tentu saja polisi keamanan Papuma. Mereka berkali-kali meniupkan peluit ke arah bibir pantai dan tampak geram dengan tingkah pengunjung, terutama anak-anak kecil, yang nekad berenang-renang sementara laut sedang pasang dan ombak yang bergulung tampak seperti mulut monster, siap memakan siapa saja yang lengah.
Papuma bukanlah Pantai Pasir Putih Situbondo yang ombaknya relatif tenang itu. Sudah terlihat disana-sini papan larangan untuk berenang, karena Papuma termasuk dalam rangkaian Pantai Selatan yang terkenal dengan keganasan ombak dan arus lautnya. Selain larangan berenang, yang jelas tampak adalah larangan berbuat asusila. Ya Tuhaaaannn... mungkin ini juga yang bikin para penunggu laut Selatan pada gerah. Lah wong banyak pasangan-pasangan berani mblusuk dan ngga takut digerayangi ulet bulu, asik memadu kasih di sela-sela rumpun pepohonan di pinggir pantai. Yah, semoga saja mereka juga selamat dari grebekan usil monyet-monyet dan ular besar seperti sanca dan phyton, para penghuni hutan di Tanjung Papuma. :p
Jumat, 10 September 2010
Sabtu, 04 September 2010
Catch The Balloon
Jumat, 03 September 2010
Visible Spectrum
I just really love this picture.
Segaris spektrum matahari bisa tertangkap dengan cukup jelas dengan perbedaan warna yang lumayan terlihat, yaaah... walopun ngga bisa nangkep tujuh warna, tapi menurut saya sihh, foto ini sangat dreamy :)
Thanks Rina udah mau saya suruh berhenti jalan beberapa kali :D
Kasodo: Bromo Special Edition
Bulan April lalu, saya berjodoh bertemu dengan seorang teknisi cum fotografer wedding di pabrik farmasi tempat saya magang. Kala itu saya memamerkan dengan tak tahu diri dan iseng semata, hasil street hunting foto saya bertema pasar ayam di sebuah Gang Kota Lama Semarang kepada bapak separo baya tersebut.
”Owalaaah... kamu hobi ’beginian’ to... Nah, udah pernah ngeliat prosesi Waisak di Borobudur belum? Saya tiap tahun ke sana. Kebetulan tanggal 23 Mei depan ada Waisak lho. Kamu harus ke sana.”
Lalu si Bapak dengan baik hati, sambil sedikit banyak meracuni, menceritakan pengalamannya seharian mengikuti Detik Suci Waisak di Candi Mendut sampai Pelepasan Lentera di malam hari di Borobudur. Saya ingat, terakhir kali saya ke Candi Borobudur adalah saat kelas enam SD. Sampai mengakhiri masa kuliah s1 pun, saya ngga tertarik untuk menilik ulang Candi Buddha itu lagi. Paling ya sama saja seperti itu bentuk dan legenda di baliknya.
Setelah mendengar cerita Pak Teknisi, saya rajin nyari gambar-gambar Waisak di Google atau Flikcr, daaan voila, begitu banyak pemandangan yang bikin saya mupeng seketika. Berbekal Lumix dan Diana F+ berangkatlah saya ke Magelang. Walaupun diakhiri dengan acara hujan-hujanan, tapi saya ngga pernah nyesel menyaksikan ritual suci umat Buddha itu. Borobudur pun menjadi tidak seperti biasanya. Cantik ruarrr biasa dengan berbagai altar-altar kuning yang menghias komplek Candi peninggalan Dinasti Syailendra itu.
Nah, saya jadi addicted acara-acara kayak gini. Rame, banyak orang, banyak ornamen khas, dan bukanlah pemandangan yang bisa disaksikan tiap hari. Gara-gara ini juga saya pengen ngeliat langsung Holy Fest di India Maret 2011 nanti. Ahahahahahaaaaa........ Doakan saya kaya mendadak kalo begitu.
Iseng, saat membaca Travelounge edisi Agustus 2010 saya menemukan halaman yang sedang membahas Bromo. Di situ disebutkan bahwa akan ada prosesi upacara Kasodo pada 25-26 Agustus 2010. Well, because life is a celebration, maka hasrat menyaksikan perayaan pun kembali menggelora. Saya yakin Bromo pasti nampak berbeda dari hari normal, layaknya Borobudur saat Waisak. Aih, tapi... puasaan, eh tapi... cuman setahun sekali... Aduh piye ya...
Maka sebelum melakukan sholat istikharoh saya memutuskan untuk wajib lapor pada bos HFLB dulu. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, si Ayos ini pernah mengutarakan keinginan terpendamnya untuk pergi ke Bromo. Agak aneh, karena setahu saya, dia adalah salah satu dari dua orang teman saya yang ngga suka tempat-tempat yang udah bau turis banget. Entah, apa salah tempat-tempat tak berdosa itu :p
”Budhaalll...” begitu balasan imel Ayos. Aseeekk...
Dua minggu kemudian kami pun berangkat dengan formasi bedhol desa. Ada Rina temen kos saya, yang lagi ikut kelas traveling entry level 3 sks disela-sela kesibukannya sebagai mahasiswi magister akuntansi. Lalu Bandenk, temen Ayos, aseli Boyolali yang lagi liburan ke Jawa Timur selama beberapa minggu. Kemudian pasangan Love Song Deltasari; Skan dan Upo, beserta dua temen mereka yaitu Ni Luh dan Ijo. Karena si mamah Ni Luh juga berencana untuk mengikuti prosesi upacara Kasodo, maka si beliau pun ikut dalam rombongan ini, namun memisahkan diri keika sampai di Bromo.
Kami minus Ayos berkumpul di Terminal Bungurasih. Di sana sudah ada Bandenk yang menunggu sedari pagi dalam keadaan kulu-kulu karena mabuk abis digoyang Sumber Kencono. Kami menunggu sisa teman yang masih dalam perjalanan menuju terminal.
“Mbak, ati-ati, kata temenku kalo Kasodo banyak maling kamera.”
Begitu bunyi sms singkat dari Irma Cupan, seorang adik kelas saya. Sms yang sungguh melegakan, mengingat dalam Bodypack yang saya beli diskonan itu tersimpan sebuah DSLR milik Ayos plus dua pocket keren punya saya dan Rina. Saya juga baru tahu maling punya program studi spesialisasi kamera. Dalam benak kami bertiga, kalau di tangan kiri calon korban memegang kamera, lalu tangan kanan ada uang seratus juta, si maling akan tetep nyolot nyolong kamera karena tuntutan profesionalisme kerja. Kasian.
Ndak berapa lama, rombongan berikutnya datang. Kami bergegas masuk dalam sebuah bus patas AC menuju Probolinggo. Kenapa harus AC?? Karena sebagian dari kami sedang berpuasa, sodara... Suasana sejuk sangat dibutuhkan demi kelancaran ibadah.
Sekitar pukul dua siang, kami sampai di Terminal Banyuangga, Probolinggo. Setelah bertemu Ayos yang datang dari Jember, kami meneruskan perjalanan menggunakan moda transportasi angkot desa yang khusus naik ke Bromo dengan biaya berkisar 25.000-30.000 per orang. Angkot desa ini punya hobi ngetem sampe penumpang penuh. Maka jika Anda sekalian melakukan perjalanan seorang diri atau tidak dalam skala rombongan, sebaiknya naik ojek saja. Daripada ujung-ujungnya disuruh bayar kursi kosong.
Sepanjang jalan, terutama ketika memasuki desa Suku Tengger, suasana perayaan sudah mulai tampak dengan adanya jejeran penjor-penjor di depan rumah penduduk. Memakan kurang lebih satu jam perjalanan dari terminal, kami sampai dengan selamat dan menggigil di depan sebuah hotel mahal. Awalnya agak ribet, mau nginep di mana, mau nginep atau ngga, mau ke kawah jam berapa, mau ngapain sekarang, kok bisa sampe di sini (?) dan sebagainya...
Dari awal saya mikirnya kita bakal tidur di luar, entah di kawah entah di mana, mengingat upacara Kasodo sendiri berlangsung sedari pukul 7 malam sampai pagi menjelang. Tapi berhubung pada saat itu masih sore, kami memutuskan untuk menyewa satu kamar bertarif 100 ribu dengan dua bed yang pada akhirnya dibuat molor para jejaka ngantukan itu. Saya dan teman-teman cewe lain sibuk jejalan ke sana-sini dalam rangka ngabuburit.
Ngga ada suara adzan di sana, tapi pukul setengah enam sore kami sudah standby di sebuah warung sambil memesan menu paling hot untuk ukuran kondisi cool en calm kayak di Bromo ini. Soto panas dan teh super panas.
Suara petasan dan kembang api yang dimainkan bocah-bocah Tengger, mulai sering terdengar ketika malam menjelang. Samar-samar juga terdengar alunan kidung dari Pura Luhur Poten yang jaraknya masih sangat jaauuuhhhhh dari tempat kami menginap. Hanya terlihat kerlap-kerlip lampu yang tak jarang juga tertutup kabut tebal. Gelap.
Suasana kembali ngga jelas. Ngga jelas kapan kami akan turun ke Pura, dan ngga jelas jalannya lewat mana, lebih ngga jelas lagi karena suhu Bromo yang keterlaluan dinginnya itu malah bikin kita males mikir. Yang ada malah berjam-jam kami main ludrukan tebak-tebakan lagu di dalam kamar kecil itu.
Informasi yang kami dapat pun beda-beda. Ada yang bilang arak-arakan suku Tengger akan dimulai pukul dua belas malam, ada yang jam dua pagi, dan bahkan sampe jam empat pagi. Untunglah acara traveling ini ngga sekedar pindah tempat tidur semata. Ketika mendapat kabar bahwa Mama Ni Luh sudah turun ke kawah menggunakan ojek, maka kami pun ikut-ikutan ke sana sambil membawa segala macam logistik untuk sahur nanti.
Sebenernya ini kunjungan kedua saya di Bromo. Tapi sangat amat berbeda taste-nya. Dulu saya naik mobil dari Jember, nyampe Bromo naik hardtop. Terus ke Penanjakan liat sunrise, naik ke Kawah Bromo, lanjut ke padang Teletubbies buat foto narsis-narsisan. Dan jelas, dulu saya kesana bukan di bulan puasa.
Nah kalo yang ini, jalan kaki, tengah malem pula, dan yang paling saya takutkan adalah suhu di Bromo akan sangat rendah sekitaran jam tiga pagi hingga subuh menjelang. Saat itu masih pukul 11 malem, tapi masyaowoh dinginnya Bromo, ngga kebayang gimana nanti subuh.... Padahal saya udah pake baju berlapis-lapis, beragam slayer, bahkan kaos kakipun dobel. Lebay sih keliatannya, tapi daripada hypothermia?? Sebenernya masih ada sisa satu jaket lagi di dalam ransel yang udah pengen banget saya pakai, tapi kata Rina kita harus menyimpan satu cadangan pakaian untuk kondisi dengan suhu terburuk di kawah nanti. Wik, dahsyat tenan otak mahasiswi S2 ini.
Jarak yang harus kami tempuh dari pos masuk Bromo menuju Pura kira-kira tiga kilometer. Oiya, kami sangat was-was bakal ditarik tiket masuk. Ada gosip yang beredar, meskipun jalan kaki, kami wajib membayar retribusi sebesar 25.000 per orang. Angka itu bikin Bandenk bakal nekad menyusuri jalan tikus yang gelap gulita nan curam sekali, yang penting gratis dengan modal senter beli sepuluh ribu di bis. Eh, tapi ternyata, semua orang sedang baik hati karena malam ini adalah malam suci. Tidak ada tarikan biaya apa-apa. So, kami lolos rintangan pertama. Aseeek.
Pada kilometer awal, kami melewati jalanan aspal yang terus menukik turun. Entah apa salah kami sebagai pedestrian, beberapa pengendara motor lah kok hobi banget nyorakin kami. Berjalan kaki tentu bukan hal yang aneh, karena setahu saya banyak wisatawan mancanegara yang lebih suka jalan kaki hingga ke Padang Teletubbies pada hari normal.
Jalanan sangat ramai. Semua rasanya sedang bergerak menuju Pura, hardtop dan motor-motor yang naudzubillah bisingnya. Ayos pun beberapa kali ngomel, ”rame banget sih... rame banget sih...” Ya saya juga agak bingung mo nanggepin apa. Setau saya, di dunia ini yang namanya perayaan ya pasti rame. Kalo mengheningkan cipta barulah sepi.
Masuklah kami ke kawasan lautan pasir yang sempat dipopulerkan oleh Christine Hakim dan Dian Sastro dalam film Pasir Berbisik itu. Alas kaki yang tidak tepat bisa bikin kesulitan berjalan di atas gundukan pasir-pasir ini. Beberapa motor yang lewat juga tampak ngeleyat-ngeleyot kehilangan keseimbangan. Wah, suasana magis tempat ini pasti akan terasa kalo saja suara bising kendaraan bermotor itu bisa di-mute.
Karena Kasodo selalu dilaksanakan tiap purnama menjelang, maka sudah jelas langit yang memayungi lautan pasir ini tampak beeeegitu cerah akibat sempurnanya cahaya rembulan. Penumbra terlihat sangat jelas seperti bayangan cincin raksasa berwarna putih yang melingkari bulan. Sebuah fenomena yang disebabkan karena pembiasan cahaya bulan dari kristal es di atmosfer, terkadang disebut sebagai Halo Bulan, dan memang hanya bisa disaksikan jika langit malam benar-benar cerah saja. Sebuah opera bulan yang tidak bisa saya gambarkan lebih detil lagi, kecuali Anda datang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, hoho... Tuhan memang Maha Besar :)
Dan sampai sudah kita di Pura Luhur Poten sambil terbengong-bengong melihat keramaian yang ngga wajar untuk ukuran sebuah perayaan hari suci, dini hari pula. Ada yang jualan bakso, bakpau, es krim (penjual jajanan paling kreatif saat semua orang menggigil kedingian), dan berbagai mainan anak-anak. Untung saya ngga ngelihat odong-odong lewat. Belum lagi, hardtop dan motor yang boleh memasuki kawasan Pura. Seingat saya, dua tahun lalu ketika berkunjung ke Bromo, hanya kuda lah moda transportasi yang diizinkan berkeliaran di sekitar Pura dan kawah.
Pura Luhur Poten sendiri terdiri atas beberapa bagian yaitu Mandala Utama, Madya, dan Nista. Maka kami pun bergerak masuk menuju Mandala Utama, area yang digunakan untuk persembahyangan umat Hindu. Ni Luh sendiri sudah terlihat memakai sarung yang digunakan untuk melakukan ritual Tri Sandya dan Panca Sembah, sembari membawa sebuah bokor, yaitu piring kecil yang berisi sesajen dan rangkaian janur bunga canang sari.
Menurut Ni Luh yang baru pertama kali mengikuti rangkaian upacara Kasodo, sesajen yang dipersembahkan biasanya mengandung unsur hasil bumi dan logam. Umat Hindu pada umumnya sembahyang dengan membawa sesajen berupa buah-buahan, roti, ayam bakar dan makanan lainnya sebagai tanda syukur, dan nantinya akan dinikmati bersama-sama setelah ritual selesai. Sedangkan uang yang dipersembahkan biasanya diniatkan sebagai sumbangan untuk pihak Pura.
Upacara Kasodo diawali dengan pengangkatan dukun Tengger kemudian berlanjut ke pemberkatan umat. Dukun inilah yang nantinya akan menjadi petinggi dan pemimpin berbagai upacara keagamaan. Suku Tengger sendiri menurut legenda merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri. Mereka adalah pemeluk agama Hindu yang taat dan patuh terhadap hukum adat.
Awal mula dilaksanakannya perayaan Kasodo suku Tengger ini tidak lepas dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Dikisahkan bahwa Roro Anteng, seorang Putri dari Kerajaan Majapahit Dinasti Brawijaya menikah dengan pemuda keturunan Brahma bernama Joko Seger. Keduanya kemudian membangun pemukiman sendiri di wilayah Tengger seiring dengan kemunduran kerajaan Majapahit. Masyarakat suku Tengger hidup makmur dan damai dibawah kuasa keduanya. Namun pasangan tersebut merasa tidak bahagia karena belum dikaruniai keturunan. Maka, bersemedilah mereka di puncak Gunung Bromo untuk memohon keturunan pada Yang Kuasa.
Doa mereka akan dikabulkan dengan syarat, bila mendapat keturunan, maka anak bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pada awalnya kedua pasangan tersebut menyanggupi, namun setelah mendapatkan dua puluh lima putra dan putri, Roro Anteng dan Joko Seger mengingkari janji tersebut karena tidak tega kehilangan anak bungsu.
Dewa marah, dan menyemburkan api dari Gunung Bromo. Anak bungsu pun lenyap terjilat api dan masuk dalam kawah Bromo. Dari pengorbanan inilah, maka, setiap bulan Kasodo pada hari ke-14 masyarakat Tengger mempersembahkan sesaji pada Yang Kuasa di Kawah Gunung Bromo untuk memohon berkah dan kesejahteraan dalam hidup.
Setelah Ni Luh selesai melaksanakan sembahyang, kami masuk dalam acara ngga jelas part two. Waktu itu sekitar pukul satu pagi, saya ngga tau berapa suhu saat itu, yang jelas jaket penghangat terakhir pun sudah saya pakai, sambil tidur-tiduran dan kembali main ludrukan tebak-tebakan lagu untuk sekedar melupakan hawa dingin yang ngga karuan rasanya itu.
Entah dari mana, si Skan dkk akhirnya mendapatkan beberapa batang bambu yang akhirnya kami pakai untuk membuat api unggun. Jangan tanya berapa lama menyalakan sepotong bambu itu. Lama banget. Hahahahahaaa...
Segala macam logistik pun dikeluarkan dalam rangka santap sahur. Yeay! Ini sahur paling kece seumur hidup saya. Makan roti dan minum indomilk dibawah naungan bayangan penumbra dan lindungan jaket tebal.
Sebenernya dari awal, saya dan Rina berkomplot ngga mau ikutan naik ke kawah. Alasannya, puasa dan capek. Toh dulu juga udah pernah naik ke sana. Tapi akhirnya kami berdua terkena rayuan pulau kelapa travelmates lain yang udah pengen naik ke kawah untuk melihat para suku Tengger yang melemparkan sesaji ke dalam kawah. Huhu... saya nurut deh, sambil ngebayangin gimana jadinya puasa nanti kalo tenaga uda terkuras duluan. Yaap... suasana malam ini sih boleh berbeda dari hari normal, tapi sensasi naik kawahnya masih sama seperti dulu. Jauh, dinginnya nylekit, dan ngos-ngosan.
Sampai di puncak kawah Bromo, ternyata pemandangan mengerikan telah menanti. Sesuatu yang bikin saya geleng-geleng kepala melihatnya. Di dalam, yap, di bagian dalam Kawah Bromo telah dipenuhi oleh penangkap sesajen yang standby semalaman lengkap bersama dengan jejaring mereka. Ya Tuhan... baru kali ini saya lihat begitu banyak Spiderman beneran berkeliaran. Kok ya kayaknya mereka ngga takut jatuh ke kawah gitu.
Udah daripada pusing, maka rombongan bedhol desa pun memilih untuk duduk uyel-uyelan sekedar berbagi panas tubuh karena dinginnya puncak Bromo ini udah ngga bisa ditolerir lagi, sambil menunggu iring-iringan sesaji suku Tengger yang kabarnya juga akan membawa seekor kerbau dari kaki gunung Bromo untuk dilempar ke kawah.
Saat itu pukul empat pagi. Stargazing sambil mendengarkan musik dari player adalah satu-satunya kegiatan yang paling nikmat untuk dilakukan, mengingat badan kami ngga bisa banyak gerak karena udah pada menggigil dan mendadak banyak terserang pilek karena terlalu banyak menghirup uap air. Kalo kedinginan kayak gini, yang saya rindu cuman satu: Surabaya.
Eeeeeh, ada bintang jatuh!!! Waaawww.... amazing... Amazing karena saya telat ngeliat, hiiiih ngga asik.
Yap, pada akhirnya, karena sudah teramat penuh dengan orang, kami pun turun dari kawah. Dan barulah di separo perjalanan itu kami bertemu dengan iring-iringan para pejabat dan petinggi berpakaian adat putih yang akan turut melempar sesaji seekor kerbau dan gunungan hasil bumi ke dalam kawah. Salah satunya ada menteri favorit saya, Bapak Jero Wacik. :)
Ingatkah dengan perjalanan awal dari Pos masuk Bromo yang turun menukik tadi?? Nah, saya sangat males mikirin balik ke sana. Karena itulah, kami semua memilih mengikuti Bandenk yang sudah survey jalan tikus bersama Upo semalam. Intinya kami memotong jalan, dan akan melewati sebuah bukit untuk kembali ke desa. Dari jauh sih, bukit itu tampak kecil dan gampang untuk didaki. Tapi setelah bener-bener ada di kaki bukit, sayalah yang merasa sangat kecil sekarang. Ya Tuhaaaaan, seriusss?? Tinggi bangetttt... Bolehkah saya menelepon kuda terbang di saat-saat genting seperti ini?
Karena ngga ada pilihan lain, selain mengikuti jalan setapak yang basah dan sempit itu, kami pun mendaki dengan sabar dan penuh keringat. Satu per satu jaket pun mulai dilepas. Ngga ada pemanasan, pokoknya jalannya terussss naikkk persis kayak perjalanan ke Kawah Ijen. Kaki saya gempor banget nget nget. Satu-satunya yang menghibur hati ketika tahu bahwa bukit itu adalah tempat tumbuhnya jutaan edelweis. Wwwaw, beneran buagus banget, I really adore that place kecuali bagian ngos-ngosannya. Sungguh puasa yang menyehatkan...
Well, saya senang akhirnya bisa menyaksikan satu lagi perayaan budaya yang hanya ada di Indonesia ini. Lebih senang lagi karena bisa sampai di Terminal Bungurasih dengan selamat, pulang ke kosan naik motor agak ngeleyat-ngeleyot karena hipoglikemi, mandi, tidur lalu buka puasa pakai lalapan lele dan es manado. Hooohoo... Terima kasih semuanya... Lagi-lagi, God bless all great traveler :)
Some pictures are captured by Ayos. Pinjem yah, Yos... Suwun :)
Thanks to Rina, Ayos, Bandenk, Skan, Upo, Ni Luh (plus mama) dan Ijo. Oh iya, tulisan ini juga bisa dibaca dalam rasa lain tapi serupa dalam format combo bersama si Bandenk di hifatlobrain.blogspot.com. Travel blog abad 21 paling woke. Gegege. Tinggal klik aja gambar di bawah ini.
Atau tonton juga video yang dibuat ala kadarnya oleh Ayos en Bandenk. Oke. Enjoy! :)
Kasodo Festival from Aklam Panyun on Vimeo.