Kamis, 04 Oktober 2012

From Lokang to Jakarta

"Pusing aku, Put! Belum lagi itu macet dimana-mana!" Bang Herman berceloteh lewat saluran telepon. Nada suaranya benar-benar serius menghujat ibukota republik ini. Saya tak tahan untuk tak terkekeh.

"Orang Jakarta kalau dibawa ke Tanjung Lokang juga pasti bakalan stress, Bang!" ujar saya tak mau kalah. 

"Eh tapi aku sudah ke monas! Hahaha!"

Bang Herman, adalah salah seorang lelaki Dayak Punan Hovongan yang tinggal di Tanjung Lokang, Putussibau, Kalimantan Barat. Berprofesi sebagai bendahara desa, pria beranak dua ini sangat doyan bercanda. Apalagi jika sudah combo berduet dengan sepupunya, Bang Saleh, motorist sampan kami. 

Bang Herman memang tak berpendidikan tinggi, tempat tinggalnya juga jauh di pedalaman hutan dan sungai Kapuas, tapi bukan berarti dia tak melek teknologi. Dengan modal generator mandiri, tiap malam Bang Herman dan keluarganya menikmati hiburan dari negeri tetangga lewat televisi layar datarnya. Saat saya menumpang mandi di kediamannya, kedua anak Bang Herman malah sedang asyik menikmati tayangan K-Pop. Bang Herman juga memiliki sebuah laptop yang tak terlalu ia kuasai. Berada jauh dari keramaian kota, bertempat tinggal di desa yang butuh bersampan dua malam, hingga mandi dan mencuci di sungai, tidak mengindikasikan seseorang itu "tak mampu" secara finansial. Jangan pernah meremehkan. Justru mungkin kekayaan mereka kalau ditotal bisa melebihi pejabat ibukota. Bedanya, mereka yang di Tanjung Lokang hidup sederhana. 

Beberapa minggu lalu, Mas Ian, rekan satu tim saya di ACI Detikcom menelepon mengabarkan bahwa Bang Herman dan kedelapan kawannya sedang berada di Jakarta. 

"Ibunya sakit, Put. Dirujuk dari Pontianak disuruh ke Jakarta. Sekarang dirawat di RSCM. Wah pokoknya seru banget, gue bonceng Bang Herman naik motor, ngebantuin nyari kosan. Satu kamar buat bersembilan!" Mas Ian tertawa geli. Saya lantas membayangkan Bang Herman yang resah gelisah menyusuri jalanan Jakarta dengan motor.

"Tapi gue kasian euy, mereka kan ngga ada sodara di sini. Gue bantu tenaga aja sebisa mungkin. Kemarin gue beliin nasi padang, dan biar seneng dimakan rame-rame gitu ," ujar Mas Ian, yang terkenal sebagai model kolor andalan seantero ACI 2011.

Dibalik keluguan yang diceritakan Mas Ian dan Bang Herman, saya malah sibuk berpikir bagaimana keriwehan sembilan orang bergerak dari Tanjung Lokang menuju Jakarta. Dalam keadaan membawa dua orang yang sakit pula. Menggunakan sampan, menginap di desa Nanga Bungan kala sore menjelang, lalu lanjut bersampan kembali hingga sampai Putussibau. Bersampan di sini tidak sesederhana, naik sampan lalu hidupkan mesin dan susur sungai. Bersampan di Kapuas Hulu, itu artinya kamu harus melewati bebatuan raksasa yang siap menghantam jika tak hati-hati. Lalu kamu harus siap turun dari sampan saat riam panjang menghadang, dan beramai-ramai menarik dan menahan sampan untuk berhasil melewati riam. Dan mereka, penduduk Dayak Hovongan, adalah pejalan sekaligus pelompat paling lihai yang pernah saya lihat. Pantas jika telapak kaki mereka lebar dan tebal. Tubuh pasti menyesuaikan diri dengan alam. 

Suatu hari, kami menuju daerah Data Oped, tempat awal masyarakat Tanjung Lokang bermukim ratusan tahun lalu. Perjalanan bersampan ditempuh tiga jam 'saja'. Riam yang kami lewati lebih panjang, meski tak seganas riam-riam saat menuju Tanjung Lokang dari Nanga Bungan. Seperti biasa, saat ada riam, kami bergegas turun dari sampan dan berjalan di bebatuan tajam di pinggir sungai. Lah kok, saya sok-sok ngga pake sepatu! Alhasil telapak kaki saya lecet. Dan cara jalan saya yang termasuk level lamban, jadinya malah super lamban karena luka tadi. 

"Lamban sekali kalian berdua! Sudah tak usah turun dari sampan lagi kalau ada riam!" ujar Bang Herman pada saya dan Mbak Anty dengan wajah sok serius. Kami meringis minta dimaklumi atas nama gender. Pada riam berikutnya, bapak-bapak Punan Hovongan benar-benar melarang kami turun dari sampan. Saya duduk diam, tegang saat mulai diangkat dan ditarik oleh sekelompok pria berotot. Ah, otot Mas Ian yang buatan gym jadi tak ada apa-apanya di sini. Haha!

Foto diambil saat saya berada di sampan, tidak diizinkan turun :p

Selesai bersandar di Putussibau, perjalanan masih belum usai, Bung! Dilanjutkan dengan angkutan umum, atau sewa mobil untuk menuju Pontianak dengan total perjalanan 17 jam. And we talk about jalanan di Borneo nih ya, jangan disamain dengan Pantura. Jalurnya asoy geboy. Mending nenggak antimo beneran deh sebelum berangkat. Sampai di Pontianak, Bang Herman dan rombongan terbang menuju ibukota, membaur dengan sesaknya Jakarta.

Biasanya saya melihat berita serupa lewat televisi atau media cetak. Tapi karena pernah merasakan sendiri, saya merasa terenyuh dengan perjalanan rombongan dari Tanjung Lokang ini. Sangat panjang dan tidak gampang. Paling tidak untuk orang awam seperti saya. Memikirkan perjalanan mereka saja, saya langsung capek. 

Meski sudah hampir satu tahun perjalanan memorable di Kalimantan Barat, namun Bang Herman dan Bang Saleh masih sering bertukar kabar dengan kami. Tentu saja saat mereka menemukan sinyal telepon di Putussibau, karena hanya ada telepon satelit untuk emergency case di Tanjung Lokang.

Malam ini saya kembali menelepon Bang Herman yang masih juga di Jakarta. Menanyakan kabar sang Ibu dan kerabat lainnya yang masih terbaring di rumah sakit.

"Sudah dioperasi kemarin tanggal 8, Put. Pas sekali kamu telepon, sekalian aku pamit besok pulang ke Lokang...," ujarnya.

"Lho, Ibu Abang sudah betul sehat? Tak apa dibawa pulang besok?" tanya saya, kembali membayangkan perjalanan super panjang dan melelahkan itu.

"Ibu masih di rumah sakit untuk pemulihan. Ada adikku yang kuliah di Jogja yang menemani."

"Ah, sayang sekali aku tidak bisa ke Jakarta ya, Bang, padahal kepingin ketemu lagi, hehe..."

"Iya, memang Surabaya itu jauh ya?"

"Semalam lah, Bang kalau naik kereta..."

"Wah jauh juga... Macam ke Pontianak... Kapan kau ke Lokang lagi?"

"Kalau harga bensin ke sana udah murah, Bang! Hahaha..." 
Belum saya sebut ya, untuk transportasi satu sampan saja memakan hampir dua puluh juta, tidak termasuk biaya pulangnya tuh... Hahaha, edan kan Indonesia! Makanya jangan bayangkan hanya ke Raja Ampat saja rute paling mahal di negeri ini. Masih ada susur sungai raksasa yang bisa bikin kantong kering mendadak. 

"Besok naik apa, Bang ke Kalimantan?" tanya saya kemudian.

"Naik 'spit'!" Spit adalah sebutan mereka untuk sampan. Mungkin serapan dari mesin yang dipakai pada speedboat, yang ditempel pada ekor sampan. Bodohnya, saya percaya saja ucapan Bang Herman, karena dalam pikiran saya mereka akan naik kapal laut.

"Waduh berapa hari, Bang?"

"Ya kenapa kau percaya. Mana ada spit ke Pontianak."

Saya tergelak bodoh. "Jangan kapok ke Jawa ya, Bang..."

"Ah tak maulah aku ke Jakarta lagi, apalagi naik bajaj, pusing!"

Mas Ian, Bang Herman, dan Mbak Anty menggunakan ikat kepala dari daun yang katanya agar tak tersesat di hutan
***

2 komentar:

  1. Seru cerita bersampannya... mahal euy :D
    Menyenangkan denger cerita tolong menolong seseorang yang kita kenal dalam perjalanan, ikatannya sudah seperti saudara, Semoga cepet diberi kesembuhan deh keluarga bang Herman... :)

    BalasHapus
  2. wih, bang herman ganteng ya! *penting* *penting banget malah*

    BalasHapus